Minggu, 29 Agustus 2010

Tafsir Lailatul Qadar

Secara bahasa lailatul Qadar berarti malam penentuan, lail artinya malam, dan
qadar artinya ketentuan atau ukuran.


Makna lailatul Qadar:

Dalam al-Qur’an bulan Ramadlan disebutkan sebagai bulan turunnya al-
Qur’an (QS 2:185) dan penurunannya dipertegas dengan QS 44:1-3, yang menyatkan
bahwa al-Qur’an diturunkan pada hari penuh kemuliaan, dan QS 97:1-2, yang
menjelaskan bahwa al-Qur’an diturunkan pada malam qadar, dikenal dengan sebutan
lailatul qadar.

Para mufasir berpendapat bahwa proses penurunan al-Qur’an dilakukan dua
kali; dari lauhul mahfud ke langit dunia secara langung dalam satu malam, dari langit
dunia ke bumi (hati Rasul SAW) secara bertahap selama 23 tahun; diturunkan
sesuai kondisi kejiwaan dan kondisi historis yang menyertai kehidupan Rasul SAW
dan para pengikutnya dibawa oleh Jibril as ke hati Rasul SAW.
Pada kesempatan ini penulis akan mencoba melihat lailatul qadar dari sisi
bahasa seperti di atas, bahwa lailatul qadar berarti malam ketentuan atau keputusan
Allah SWT tentang hukum-hukum dan kaidah-kaidah yang berlaku di jagad ciptaan-
Nya ini.

Pemaknaannya sederhana saja, ketika al-Qur’an diturunkan dari lauhil mahfud
ke langit dunia secara langsung dan keseluruhan dalam satu malam, mengindikasikan
bahwa itu adalah ketentuan Allah yang termaktub di lauhilmahfud yang diturunkan ke
dunia, artinya pengetahuan Allah yang berisikan penjabaran hak dan kewajiban,
kaidah-kaidah alam, hukum sebab akibat dan lainnya yang dibagi kepada manusia
terutama manusia akhir zaman. Qadla dan kadar serta ukuran-ukuran tingkahlaku
dengan segala akibat yang bakal ditimbulkan dari tingkah laku tersebut.
Jadi lailatul qadar dengan demikian berarti malam saat ditentukannya batasanbatasan
dan kaidah-kaidah yang beralku bagi mahluk Allah tak terkecuali maunisa;
seperti pelit akan melahirkan kesusahan, taqwa akan melahirkan kebahagiaan dan
jalan keluar dari suatu masalah, tawakal adan suatu sikap tak terelakkan dari manusia, kebenaran akan selalu menang melawan kejahatan, sikap keras membuat dijauhi,
permusuhan adalah tindakan anti kedamaian, mendamaikan manusia yang bertikai
adalah tindakan terpuji dan kebutuhan dari suatu kehidupan. Nilai-nilai universal
tersebut diakui dan diterima oleh akal setiap insan baik muslim maupun non muslim.
Ia merupakan ajaran yang tidak saja berlaku secara turun-temurun tapi juga tertera
dalam kitab suci al-Qur’an.


Malam Penuh Berkah:

Al-Qur’an menjelaskan bahwa malam tersebut penuh berkah dan penuh keselamatan serta memiliki nilai lebih baik dari seribu bulan. Derajat tersebut sugguh sangat tinggi nilainya. Sifat malam yang demikian agung itu dapat dipahami karena pada saat itulah ketnuan dari suatu agenda kehidupan diundangkan. Pada saat itu berbagai do’a dan usulan dibarengi dengan semangat dan hasrat yang begitu tinggi dibuktikan dengan rela berpuasa dan mengosongkan “perut” dari berbagai “keserakahan” kaum muslimin mengajukan berbagai permohonan yang disertai pengabdian, ketaatan dan keseriusan, mereka memohon dengan suasana kedekatan kepada Rab al-aalamin untuk mendapatkan ketentuan baik, nasib baik, dan terhindar dari “api neraka”.

Dalam hukum kehidupan manusia sebuah permohonan akan bisa dikabulkan jika dilakukan dengan “sungguh”, “bersih”, “setia” dan “kedekatan”. Maka pada saat penentuan keputusan ini dianjurkan kepada semua kaum muslimin untuk senaniasa
berdekat, berserah, berharap dan memohon dengan jalan menunjukkan kesetiaan
(puasa) dan kedekatan; memperbanyak dzikir dan mendekatkan diri kepada Allah.
Proses puasa Ramadlan dan amalannya itu merupakan tahapan pengajuan
usulan dan permohonan untuk dapat diputuskan baik dalam maam lailatul qadar.
Sehinga kehidupan ke depan menjadi ‘jaminan’ atas keselamatan, keterhindaran dari
api neraka.


Al-Qur’an Sebagai Ketentuan:

Para nabi as terdahulu mendapatkan petunjuk (kitab suci) berisikan kaidahkaidah
secara langsung (tidak bertahap) dan sangat singkat. Kaidah –kaidahnya relatif
sederhana jika dibanding dengan kaidah al-Qur’an yang demikian komprehensif. Hal
ini karena status penutup kitab suci dan penutup kenabian menuntut al-Qur’an harus
bisa mencakup berbagai permasalahan kehidupan manusia yang semakin hari semakin
bertambah kompleksitasnya, di sisi lain kecerdasan manusia dengan pengalaman dan
pengetahuannya juga semakin tinggi dan semakin meluas, maka kitab suci yag
diperlukan manusia modern jelas harus selengkap dan seluas al-Qur’an.

Ketika manusia awal cukup mengetahui keterhamparan bumi misalkan, maka kitab suci
membenarkan keterhamparan bumi tersebut, namun ketika kemampuan manusia
sudah bisa melihat bundarnya bumi, dan benda-benda langit lainnya, kitab suci juga
menjelaskan bagaiamana benda-benda / planet ini berterbangan di angkasa luas,
berputar dengan ketentuan yang berlaku bagi semuanya, in dari sudut astronomi.
Dari sudut lain misalkan tentang kehidupan sosial manusia, ketika para sosilog
mencoba menarik-narik kesimpulan hukum yang berlaku dalam masyarakat, individu
maupun kelompok, kehidupan ekonomi, dasar pergerakan manusia serta interaksinya,
nilai-nilai yang dianut oleh kelompok tertentu, nampaknya hukum-hukum yang
difirmankan Allah dalam al-Qur’an telah membedah semuanya, kalau mau dikaji.
Sebagai contoh teori dari surat al-Lail, menjelaskan hukum kemudahan
sebagai berikut:

Memberi + bertaqwa + beriman akan akhirat (percaya akan akibat
suatu perbuatan baik berakibat baik dan begitu sebaliknya) = kemudahan.

Pelit + Merasa Cukup + tidak percaya akan akibat yang baik dari suatu perbuatan baik
(akhirat) = kesulitan.

Secara nalar manusia kalau memberi akan membuat orang susah karena berkurang, namun teori al-Qur’an justru sebaliknya.

Yang menyangkut kejiwaan juga misalkan disarankan untuk mengingat-ingat
apa yang telah didapat (dicapai) untuk supaya bisa terus optimis dan tidak putus asa
diisyaratkan dalam surat al-Dluha, jika ada kesulitan yakinlah bahwa akan dibarengi
dengan kemudahan seperti yang diinyaratkan surat al-Insyirah, dan ayat-ayat lainnya.
Contoh di atas sekedar memberikan gambaran betapa teori al-Qur’an
mencakup ilmu-ilmu tidak saja yang berkenaan dengan prilaku peribadatan tapi juga
prilaku sosial dan psikologis manusia. Bandingkan juga dengan isu “kemiskinan”
yang sering “dijual” dan banyak melahirkan proyek dari yang paling sederhana
sampai pada proyek kudeta. Padahal dalam Islam ada definisi kemiskinan yang tidak
menakutkan dan rawan konflik. Seperti pembahasan tema kemiskinan dalam al-
Qur’an lebih menarah kepada interaksi kaya-miskin; hak si kaya dan hak si miskin,
makna kekayaan sering diisyaratkan sebagai suatu amanah dan kepercayaan
pengelolaan harta Tuhan, dan arti kemiskinan bukan nyanyian sosial yang dilantunkan
terus-menerus. Temanya sanagat sedikit dan berkisar pada tehnik memperlakukan dan
interaksi serta tanggungjawab, targetnya adalah si kaya bisa beribadah dengan
“kaya”nya dan si miskin juga bisa beribadah dengan “miskin’nya.

Ketika lailatul qadar diartikan sebagai malam penentuan Allah untuk
makhluk-Nya, dan yang diturunkan pada malam itu adalah al-Qur’an, ini bisa
dipahami bahwa al-Qur’an itu merupakan ketenuan Allah, dan makna yang bisa
diambil adalah bahwa qadar Allah telah termaktub dalam al-Qur’an yang merupakan
Kalam Allah SWT. Jadi hukum-hukum tertinggi yang bisa dicapai manusia akan dan
sudah tercakup oleh al-Qur’an. Maksudnya sebaik apapun manusia berteori ujungujungnya
akan menemukan kebenaran teori yang dikandung al-Qur’an dan akan
membenarkannya.

Manusia secara tersendiri berteori tentang ekonomi, pranata sosial, serta
politik dan hukum baik perdata maupun pidana, namun berbagai pendekatan
nyatanya gagal diterapkan atau paling tidak kurang memberikan hasil yang maksimal,
selalu melahirkan ketimpamgan baru dan selalu berakibat “keresahan akhir” dari
sebuah tatanan.

Maka yang diperlukan sekarang adalah menggali teori al-Qur’an tersebut dan mencoba melaksanakannya dalam kehidupan kita sebagai pelajaran dari lailatul qadar.
Semoga!


Sumber :
M. Tata Taufik
http://www.tata.al-ikhlash.net/LAILATULQODAR.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar