info LAILATUL QADAR
Kliping Internet 0360
Minggu, 29 Agustus 2010
Para Pemburu Lailatul Qadar
Usman bin Affan RAmenyambuttamu agung itudengan ibadahsepanjang malam.
pabila tiba Lailatul Qadar, maka Jibril turun ke dunia bersama kumpulan para malaikat dan i akan berdoa bagi orang yang berdiri shalat malam dan duduk mengingat Allah. Dan pada hari Idul Fitri, Allah akan membangga-banggakan mereka di hadapan para malaikat..." (HR Baihaqi).
Sungguh luar biasa kemuliaan yang dianugerahkan Allah SWT pada malam Lailatul Qadar. Tak heran jika Rasulullah SAW bersama para sahabat dan para imam dan orang-orang saleh tak pernah menyia-nyiakan keutamaan dan keagungan Lailatul Qadar yang dikaruniakan Allah SWT. Mereka beribadah dengan giat dan semangat.
Meski telah mendapat jaminan dengan berbagai kabar gembira, Rasulullah SAW pun tetap giat dan sibuk beribadah, hingga kakinya bengkak. Nabi Muhammad SAW pun selalu menyambut datangnya Lailatul Qadar dengan memperbanyak ibadah. Rasulullah SAW bersabda, "Carilah malam Lailatul Qadar pada malam-malam ganjil dari sepuluh malam pada akhir bulan Ramadhan." (HR Bukhari).
Begitu pula para sahabat Nabi SAW. Mereka begitu semangat menyambut danmemuliakan tamu agung yang istimewa bernama Lailatul Qadar. Umar bin Khattab RA, memiliki cara sendiri untuk meraih kemuliaan malam yang lebih baik dari seribu bulan itu. Ia setelah shalat Isya akan pulang ke rumahnya dan mengerjakan shalat sepanjang malam hingga terdengar azan Subuh.
Lalu, Usman bin Affan RA menyambut tamu agung itu dengan ibadah sepanjang malam. Setelah puasa pada siang harinya, Usman menghabiskan malam dengan shalat. Ia tidur sebentar yaitu pada sebagian awal malam. Di setiap rakaatnya, Usman mengkhatamkan seluruh Alquran.
Para sahabat pun tak mau ketinggalan. Mereka memburu Lailatul Qadar dengan menghidupkan malam hari melalui ibadah. Syaddad RA, seorang sahabat, dikisahkan biasa berbaring tanpa tidur sepanjang malam sambil miring ke kanan dan ke kiri sampai waktu fajar, kemudiaan berkata, "Ya Allah ketakutan terhadap neraka Jahanam telah mengusir kantukku."
Aswad bin Yazid RA pun tak mau kehilangan Lailatul Qadar. Sahabat Nabi SAW itu beribadah sepanjang malam pada bulan Ramadhan hingga Subuh, setelah sebelumnya tidur sebentar antara Maghrib dan Isya. Semua itu dilakukannya demi menyambut tamu agung bernama Lailatul Qadar.
Bahkan, dikisahkan, Said bin Musayyab, selama 50 tahun selalu shalat Isya dan shalat Fajar dengan wudlu yang sama. Pemburu Lailatul Qadar lainnya yang tercatat dalam sejarah adalah- Shilah bin Ashim. Ia biasa menghabiskan seluruh malamnya untuk beribadah kepada Allah hingga Subuh.
Dan setelah matahari terbit, ia berdoa, "Ya Allah, hamba tak pantas meminta surga kepada-Mu, tetapi hamba hanya memohon kepada-Mu agar menyelamatkan hamba dari Jahanam."
Qatadah, biasa mengkhatamkan Alquran setiap tiga malam pada bulan Ramadhan, tetapi pada sepuluh malam terakhir ia mengkhatamkan seluruh Alquran setiap malam. Imam Abu Hanifah terkenal karena selama 40 tahun melakukan shalat Isya dan shalat Fajar dengan wudlu yang sama.
Apabila teman-temannya bertanya bagaimana ia memperoleh keutamaan untuk melakukannya, ia menjawab, "Ini karena doa khusus yang aku mohonkan kepada Allah SWT melalui Ishnul Azham." Abu Hanifah hanya tidur sejenak pada siang hari.
Abu Hanifah berkata, "Hadis menganjurkan agar melakukannya." Yaitu tidurnya semata-mata mengikuti sunah. Sang imam pun sering menangis sedemikian rupa saat membaca Alquran, sehingga para tetangganya merasa kasihan kepadanya. Suatu ketika, ia menangis sepanjang malam sambil membaca Alquran surah Al-Qamar ayat 46.
Ibrahim bin Adham bahkan tak tidur sama sekali pada bulan Ramadhan, baik pada siang ataupun malam hari. Imam Syafii biasa mengkhatamkan Alquran enam puluh kali selama bulan Ramadhan dalam shalat. Semua amal itu ditunaikan tanpa beban sedikitpun.
Pakar hadis, Dr Lutfi Fathullah MA mengungkapkan, begitu mulianya Laailatul Qadar, Rasulullah saw mengajak seluruh sahabatnya, istri-istrinya sampai kepada pembantu-pembantunya untuk memperbanyak ibadah. Karena itu, ketika istri-istri Rasulullah diminta untuk mencari Lailatul Qadar, Aisyah RA berkata, Ya Rasulullah bagaimana kalau saya yang mendapatkan? Apa yang harus saya baca9 Minta rumah, minta kekayaan atau minta yang lainnya?
Rasulullah mengajarkan bacalah, "Allahumma innaka afuwwun karim tuhibbul afwa fafu anni (Ya Allah Engkalau Yang Maha Pengampun Lagi Maha Pemurah, Engkau senang mengampuni hamba-hambaMu karena itu ampunilah dosa-dosaku)." Semoga, kita dipertemukan dengan malam Lailatul Qadar.
Smber:
Kitab Fadhail Ramadhan ed; heri ruslanoleh Heri Ruslan, Damanhuri Zuhri,
Republika, dalam :
http://bataviase.co.id/node/349469
20 Agustus 2010
Sumber Gambar:
http://wostorian0206.blogspot.com/
Malam Lailatul Qadar - Malam Seribu Bulan
Malam Lailatul Qadar
Keutamaannya sangat besar, karena malam ini menyaksikan turunnya Al Quran Al Karim yang membimbing orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan mengangkatnya ke derajat yang mulia dan abadi. Ummat Islam yang mengikuti sunnah Rasulnya tidak memasang tanda-tanda tertentu dan tidak pula menancapkan anak-anak panah untuk memperingati malam ini (malam Lailatul Qodar/Nuzul Qur'an, red), akan tetapi mereka bangun di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala dari Allah.
Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Qur'aniyah dan hadits-hadits Nabawiyyah yang shahih yang menjelaskan tentang malam tersebut.
1. Keutamaan Malam Lailatul Qadar
Cukuplah untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadar dengan mengetahui bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan, Allah berfirman :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ﴿١﴾ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ ﴿٢﴾ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ﴿۳﴾ تَنَزَّلُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ ﴿٤﴾ سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ﴿٥﴾ [القدر: ١ - ٥]
(yang artinya) [1] Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan. [2] Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? [3] Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. [4] Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. [5] Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. [QS Al Qadar: 1 - 5]
Dan pada malam itu dijelaskan segala urusan nan penuh hikmah :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ ﴿۳﴾ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ ﴿٤﴾ أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ ﴿٥﴾ رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ﴿٦﴾ [الدخان: ۳ - ٦]
(yang artinya) :
"Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. [4] Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, [5] (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul, [6] sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."[QS Ad Dukhoon: 3 - 6]
2. Waktunya
Diriwayatkan dari Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bahwa malam tersebut terjadi pada malam tanggal 21, 23, 25, 27, 29 dan akhir malam bulan Ramadhan. (Pendapat-pendapat yang ada dalam masalah ini berbeda-beda, Imam Al Iraqi telah mengarang satu risalah khusus diberi judul Syarh Shadr bidzkri Lailatul Qadar, membawakan perkatan para ulama dalam masalah ini, lihatlah).
Imam Syafi’I berkata : “Menurut pemahamanku, wallahu a’lam, Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam menjawab sesuai yang ditanyakan, ketika ditanyakan kepada beliau : “Apakah kami mencarinya di malam hari?”, beliau menjawab : “Carilah di malam tersebut.”. (Sebagaimana dinukil al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (6/388).
Pendapat yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadr itu pada malam terakhir bulan Ramadhan, berdasarkan hadits ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha, dia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan beliau bersabda : (yang artinya) “Carilah malam Lailatur Qadar di (malam ganjil) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.”. (HR Bukhari 4/255 dan Muslim 1169)
Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, karena riwayat Ibnu Umar (dia berkata) Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya) : “Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari sisanya.” (HR Bukari 4/221 dan Muslim 1165).
Ini menafsirkan sabdanya : (yang artinya) “Aku melihat mimpi kalian telah terjadi, maka barangsiapa ingin mencarinya, carilah pada tujuh hari yang terakhir.” (Lihat maraji’ diatas).
Telah diketahui dalam sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para sahabat. Dari Ubadah bin Shamit Radiyallahu ‘anhu, ia berkata Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam keluar pada malam Lailatul Qadar, ada dua orang sahabat berdebat, beliau bersabda : “Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang malam Laitul Qadar, tetapi fulan dan fulan (dua orang) berdebat hingga diangkat tidak bisa lagi diketahui kapan lailatul qadar terjadi), semoga ini lebih baik bagi kalian, maka carilah pada malam 29,27,25 (dan dalam riwayat lain : tujuh, sembilan, lima). (HR Bukhari 4/232).
Telah banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa malam Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir, yang lainnya menegaskan di malam ganjil sepuluh hari terakhir. Hadits yang pertama sifatnya umum, sedang hadits kedua adalah khusus, maka riwayat yang khusus lebih diutamakan daripada yang umum, dan telah banyak hadits yang lebih menerangkan bahwa malam Lailatul Qadar itu ada pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan, tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah, tidak ada masalah. Maka dengan ini, cocoklah hadits-hadits tersebut, tidak saling bertentangan, bahkan bersatu tidak terpisahkan.
Kesimpulannya :
Jika seseorang muslim mencari malam Lailatul Qadar, carilah pada malam ganjil sepuluh hari terakhir, 21, 23, 25, 27 dan 29. Kalau lemah dan tidak mampu mencari ppada sepuluh hari terakhir, maka carilah pada malam ganjil tujuh hari terakhir yaitu 25, 27 dan 29. Wallahu a’lam.
Paling benarnya pendapat lailatul qadr adalah pada tanggal ganjil 10 hari terakhir pada bulan Ramadhan, yang menunjukkan hal ini adalah hadits Aisyah, Ia berkata :
“Adalah Rasulullah beri’tikaf pada 10 terakhir pada bulan Ramadhan dan berkata : “Selidikilah malam lailatul qadr pada tanggal ganjil 10 terakhir bulan Ramadhan”.
3. Bagaimana Mencari Malam Lailatul Qadar
Sesungguhnya malam yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Dan tidaklah diharamkan kebaikan itu, melainkan (bagi) orang yang diharamkan (untuk mendapatkannya). Oleh karena itu, dianjurkan bagi muslimin (agar) bersemangat dalam berbuat ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahalaNya yang besar, jika (telah) berbuat demikian (maka) akan diampuni Allah dosa-dosanya yang telah lalu. (HR Bukhari 4/217 dan Muslim 759).
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “ Barangsiapa berdiri (shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” yang telah lalu. (HR Bukhari 4/217 dan Muslim 759)
Disunnahkan untuk memperbanyak do’a pada malam tersebut. Telah diriwayatkan dari Sayyidah ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha, (dia) berkata : “Aku bertanya, Ya Rasulullah (Shalallahu 'alaihi wassalam), Apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan ?”. Beliau menjawab, “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annii. Ya Allah, Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku.”. (HR Tirmidzi (3760), Ibnu Majah (3850), dari Aisyah, sanadnya shahih. Lihat syarahnya Bughyatul Insan fi Wadhaifi Ramadhan, halaman 55-57, karya ibnu Rajab al Hanbali.)
Saudaraku – semoga Allah memberkahimu dan memberi taufiq kepadamu untuk mentaatiNya – engkau telah mengetahui bagaimana keadaan malam Lailatul Qadar (dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan sholat) pada sepuluh malam hari terakhir, menghidupkannya dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada istrimu dan keluargamu untuk itu dan perbanyaklah amalan ketaatan.
Dari Aisyah Radiyallahu ‘anha, “Adalah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam apabila masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencangkan kainnya (menjauhi wanita yaitu istri-istrinya karena ibadah, menyingsingkan badan untuk mencari Lailatul Qadar), menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR Bukhari 4/233 dan Muslim 1174).
Juga dari ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha, (dia berkata) : “Adalah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersungguh-sungguh (beribadah apabila telah masuk) malam kesepuluh (terakhir), yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya.” (HR Muslim 1174).
4. Tanda-tandanya
Ketahuilah hamba yang taat – mudah-mudahan Allah menguatkanmu dengan ruh dariNya dan membantu dengan pertolongaNya – sesungguhnya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam menggambarkan paginya malam Lailatul Qadar agar seorang muslim mengetahuinya.
Dari Ubay Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya) : “Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tanpa sinar menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi.” (HR Muslim 762).
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Kami menyebutkan malam Lailatul Qadar di sisi Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam beliau bersabda : (yang artinya) “Siapa diantara kalian yang ingat ketika terbit bulan, seperti syiqi jafnah.” (HR Muslim 1170. Perkataannya “Syiqi Jafnah”, syiq artinya setengah, jafnah artinya bejana. Al Qadli ‘Iyadh berkata :”Dalam hadits ini ada isyarata bahwa malam Lailatul Qadar hanya terjadi di akhir bulan, karena bulan tidak akan seperti demikian ketika terbit kecuali di akhir-akhir bulan.”)
Dan dari Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya) : “ (Malam) Lailatul Qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan.” (HR Thyalisi (349), Ibnu Khuzaimah (3/231), Bazzar (1/486), sanadnya hasan).
(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul asli Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab "Malam Lailatul Qadar". Penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia)
Sumber :
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=757
18 Oktober 2004
Keutamaannya sangat besar, karena malam ini menyaksikan turunnya Al Quran Al Karim yang membimbing orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan mengangkatnya ke derajat yang mulia dan abadi. Ummat Islam yang mengikuti sunnah Rasulnya tidak memasang tanda-tanda tertentu dan tidak pula menancapkan anak-anak panah untuk memperingati malam ini (malam Lailatul Qodar/Nuzul Qur'an, red), akan tetapi mereka bangun di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala dari Allah.
Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Qur'aniyah dan hadits-hadits Nabawiyyah yang shahih yang menjelaskan tentang malam tersebut.
1. Keutamaan Malam Lailatul Qadar
Cukuplah untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadar dengan mengetahui bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan, Allah berfirman :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ﴿١﴾ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ ﴿٢﴾ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ﴿۳﴾ تَنَزَّلُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ ﴿٤﴾ سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ﴿٥﴾ [القدر: ١ - ٥]
(yang artinya) [1] Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan. [2] Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? [3] Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. [4] Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. [5] Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. [QS Al Qadar: 1 - 5]
Dan pada malam itu dijelaskan segala urusan nan penuh hikmah :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ ﴿۳﴾ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ ﴿٤﴾ أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ ﴿٥﴾ رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ﴿٦﴾ [الدخان: ۳ - ٦]
(yang artinya) :
"Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. [4] Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, [5] (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul, [6] sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."[QS Ad Dukhoon: 3 - 6]
2. Waktunya
Diriwayatkan dari Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bahwa malam tersebut terjadi pada malam tanggal 21, 23, 25, 27, 29 dan akhir malam bulan Ramadhan. (Pendapat-pendapat yang ada dalam masalah ini berbeda-beda, Imam Al Iraqi telah mengarang satu risalah khusus diberi judul Syarh Shadr bidzkri Lailatul Qadar, membawakan perkatan para ulama dalam masalah ini, lihatlah).
Imam Syafi’I berkata : “Menurut pemahamanku, wallahu a’lam, Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam menjawab sesuai yang ditanyakan, ketika ditanyakan kepada beliau : “Apakah kami mencarinya di malam hari?”, beliau menjawab : “Carilah di malam tersebut.”. (Sebagaimana dinukil al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (6/388).
Pendapat yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadr itu pada malam terakhir bulan Ramadhan, berdasarkan hadits ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha, dia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan beliau bersabda : (yang artinya) “Carilah malam Lailatur Qadar di (malam ganjil) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.”. (HR Bukhari 4/255 dan Muslim 1169)
Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, karena riwayat Ibnu Umar (dia berkata) Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya) : “Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari sisanya.” (HR Bukari 4/221 dan Muslim 1165).
Ini menafsirkan sabdanya : (yang artinya) “Aku melihat mimpi kalian telah terjadi, maka barangsiapa ingin mencarinya, carilah pada tujuh hari yang terakhir.” (Lihat maraji’ diatas).
Telah diketahui dalam sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para sahabat. Dari Ubadah bin Shamit Radiyallahu ‘anhu, ia berkata Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam keluar pada malam Lailatul Qadar, ada dua orang sahabat berdebat, beliau bersabda : “Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang malam Laitul Qadar, tetapi fulan dan fulan (dua orang) berdebat hingga diangkat tidak bisa lagi diketahui kapan lailatul qadar terjadi), semoga ini lebih baik bagi kalian, maka carilah pada malam 29,27,25 (dan dalam riwayat lain : tujuh, sembilan, lima). (HR Bukhari 4/232).
Telah banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa malam Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir, yang lainnya menegaskan di malam ganjil sepuluh hari terakhir. Hadits yang pertama sifatnya umum, sedang hadits kedua adalah khusus, maka riwayat yang khusus lebih diutamakan daripada yang umum, dan telah banyak hadits yang lebih menerangkan bahwa malam Lailatul Qadar itu ada pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan, tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah, tidak ada masalah. Maka dengan ini, cocoklah hadits-hadits tersebut, tidak saling bertentangan, bahkan bersatu tidak terpisahkan.
Kesimpulannya :
Jika seseorang muslim mencari malam Lailatul Qadar, carilah pada malam ganjil sepuluh hari terakhir, 21, 23, 25, 27 dan 29. Kalau lemah dan tidak mampu mencari ppada sepuluh hari terakhir, maka carilah pada malam ganjil tujuh hari terakhir yaitu 25, 27 dan 29. Wallahu a’lam.
Paling benarnya pendapat lailatul qadr adalah pada tanggal ganjil 10 hari terakhir pada bulan Ramadhan, yang menunjukkan hal ini adalah hadits Aisyah, Ia berkata :
“Adalah Rasulullah beri’tikaf pada 10 terakhir pada bulan Ramadhan dan berkata : “Selidikilah malam lailatul qadr pada tanggal ganjil 10 terakhir bulan Ramadhan”.
3. Bagaimana Mencari Malam Lailatul Qadar
Sesungguhnya malam yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Dan tidaklah diharamkan kebaikan itu, melainkan (bagi) orang yang diharamkan (untuk mendapatkannya). Oleh karena itu, dianjurkan bagi muslimin (agar) bersemangat dalam berbuat ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahalaNya yang besar, jika (telah) berbuat demikian (maka) akan diampuni Allah dosa-dosanya yang telah lalu. (HR Bukhari 4/217 dan Muslim 759).
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “ Barangsiapa berdiri (shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” yang telah lalu. (HR Bukhari 4/217 dan Muslim 759)
Disunnahkan untuk memperbanyak do’a pada malam tersebut. Telah diriwayatkan dari Sayyidah ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha, (dia) berkata : “Aku bertanya, Ya Rasulullah (Shalallahu 'alaihi wassalam), Apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan ?”. Beliau menjawab, “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annii. Ya Allah, Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku.”. (HR Tirmidzi (3760), Ibnu Majah (3850), dari Aisyah, sanadnya shahih. Lihat syarahnya Bughyatul Insan fi Wadhaifi Ramadhan, halaman 55-57, karya ibnu Rajab al Hanbali.)
Saudaraku – semoga Allah memberkahimu dan memberi taufiq kepadamu untuk mentaatiNya – engkau telah mengetahui bagaimana keadaan malam Lailatul Qadar (dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan sholat) pada sepuluh malam hari terakhir, menghidupkannya dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada istrimu dan keluargamu untuk itu dan perbanyaklah amalan ketaatan.
Dari Aisyah Radiyallahu ‘anha, “Adalah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam apabila masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencangkan kainnya (menjauhi wanita yaitu istri-istrinya karena ibadah, menyingsingkan badan untuk mencari Lailatul Qadar), menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR Bukhari 4/233 dan Muslim 1174).
Juga dari ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha, (dia berkata) : “Adalah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersungguh-sungguh (beribadah apabila telah masuk) malam kesepuluh (terakhir), yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya.” (HR Muslim 1174).
4. Tanda-tandanya
Ketahuilah hamba yang taat – mudah-mudahan Allah menguatkanmu dengan ruh dariNya dan membantu dengan pertolongaNya – sesungguhnya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam menggambarkan paginya malam Lailatul Qadar agar seorang muslim mengetahuinya.
Dari Ubay Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya) : “Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tanpa sinar menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi.” (HR Muslim 762).
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Kami menyebutkan malam Lailatul Qadar di sisi Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam beliau bersabda : (yang artinya) “Siapa diantara kalian yang ingat ketika terbit bulan, seperti syiqi jafnah.” (HR Muslim 1170. Perkataannya “Syiqi Jafnah”, syiq artinya setengah, jafnah artinya bejana. Al Qadli ‘Iyadh berkata :”Dalam hadits ini ada isyarata bahwa malam Lailatul Qadar hanya terjadi di akhir bulan, karena bulan tidak akan seperti demikian ketika terbit kecuali di akhir-akhir bulan.”)
Dan dari Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya) : “ (Malam) Lailatul Qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan.” (HR Thyalisi (349), Ibnu Khuzaimah (3/231), Bazzar (1/486), sanadnya hasan).
(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul asli Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab "Malam Lailatul Qadar". Penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia)
Sumber :
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=757
18 Oktober 2004
Lailatul Qadar dan Tanda-tandanya
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Dia-lah yang memuliakan sebagian tempat dan waktu atas sebagian yang lain. Dia-lah yang telah menurunkan al-Qur'an pada malam yang diberkahi.
Shalawat dan salam bagi manusia yang menyingsingkan lengan bajunya dan mengencangkan ikat pinggangnya pada malam-malam yang agung dan penuh berkah, Nabi kita Muhammad, beserta keluarganya, dan para sahabatnya yang mulia.
Allah telah mengistimewakan umat Nabi Muhammad ini atas umat-umat lain dengan beberapa keistimewaan. Dan Dia telah memuliakan mereka atas selainnya dengan mengutus seorang rasul bagi mereka dan menurunkan kitab penjelas, yaitu Kitabullah al-'Adzim (al-Qur'an), pada malam mubarakah (diberkahi) yang lebih baik daripada malam-malam selainnya. Malam yang diistimewakan oleh Allah. Malam untuk ibadah. Ibadah di dalamnya lebih baik daripada ibadah selama seribu bulan. Yaitu selama 83 tahun 4 bulan. Malam itu adalah Lailatul Qadar. Allah telah menerangkannya kepada kita dalam dua surat:
Firman Allah dalam surat Al-Qadar :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5)
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar."
Allah berfirman yang lain dalam surat ad-Dukhan:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
"Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah."
Sebab dinamakan Lailatul Qadar
Diterangkan oleh Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah tentang sebab dinamakannya malam Lailatul Qadar :
Pertama, dinamakan Lailatul Qadar dari kata al-Qadar, maknanya kemuliaan. Sebagaimana seseorang disebut dzu qadarin 'adziim, maknanya memiliki kemuliaan.
Kedua, ditetapkan pada malam itu urusan selama satu tahun, kemudian dicatat apa saja yang akan terjadi selama satu tahun itu pada malam tersebut. Ini termasuk kebijaksaan Allah 'Azza wa Jalla.
Ketiga, disebut malam itu dengan Lailatul Qadar karena ibadah di dalamnya memiliki kedudukan yang agung, berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Barang siapa yang bangun (shalat) pada malam Lailatul Qadar didasari iman dan berharap pahala dari Allah semata, maka diampuni dosanya yang telah lalu." (Muttafaq 'Alaih).
Tanda-tanda Lailatul Qadar
Disebutkan juga oleh Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah bahwa Lailatul Qadar memiliki beberapa tanda-tanda yang mengiringinya dan tanda-tanda yang datang kemudian.
Tanda-tanda yang megiringi Lailatul Qadar
1. Kuatnya cahaya dan sinar pada malam itu, tanda ini ketika hadir tidak dirasakan kecuali oleh orang yang berada di daratan dan jauh dari cahaya.
2. Thama'ninah (tenang), maksudnya ketenangan hati dan lapangnya dada seorang mukmin. Dia mendapatkan ketenanangan dan ketentraman serta lega dada pada malam itu lebih banyak dari yang didapatkannya pada malam-malam selainnya.
3. Angin bertiup tenang, maksudnya tidak bertiup kencang dan gemuruh, bahkan udara pada malam itu terasa sejuk.
4. Terkadang manusia bisa bermimpi melihat Allah pada malam itu sebagaimana yang dialami sebagian sahabat radliyallah 'anhum.
5. Orang yang shalat mendapatkan kenikmatan yang lebih dalam shalatnya dibandingkan malam-malam selainnya.
Tanda-tanda yang mengikutinya
Matahari akan terbit pada pagi harinya tidak membuat silau, sinarnya bersih tidak seperti hari-hari biasa. Hal itu ditunjukkan oleh hadits Ubai bin Ka'b radliyallah 'anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengabarkan kepada kami: "Matahari terbit pada hari itu tidak membuat silau." (HR. Muslim)
Keutamaan Lailatul Qadar
1. Pada malam itulah Allah menurunkan al-Qur'an, Allah Ta'ala berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur'an) pada malam kemuliaan." (QS. Al-Qadar: 1)
2. Malam itu malam yang diberkahi, firman Allah Ta'ala:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ
"Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi." (QS. Ad-Dukhan: 3)
3. Allah menuliskan seluruh ajal dan rizki selama satu tahun pada malam itu, firman Allah Ta'ala:
فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
"Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah." (QS. Ad-Dukhan: 4)
4. Keutamaan ibadah pada malam itu dibandingkan malam-malam yang lain, firman Allah Ta'ala:
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
"Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan." (QS. Al-Qadar: 3)
5. Banyak Malaikat turun ke bumi pada malam itu dengan membawa kebaikan, keberkahan, rahmat, dan maghfirah (ampunan), firman Allah Ta'ala:
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ
"Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan." (QS. Al-Qadar: 4)
6. Lailatul Qadar adalah malam yang terbebas dari keburukan dan kerusakan. Pada malam itu pula banyak dilaksanakan ketaatan dan perbuatan baik. Pada malam itu penuh dengan keselamatan dari adzab. Sedangkan syetan tidak bisa menggoda sebagaimana keberhasilannya pada selain malam itu, maka malam itu seluruhnya berisi keselamatan dan kesejahteraan. Firman Allah Ta'ala:
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
"Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (QS. Al-Qadar: 5)
7. Di dalamnya penuh dengan ampunan terhadap dosa bagi orang yang bangun shalat dan berharap pahala dari sisi Allah ’Azza wa Jalla, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "siapa yang berdiri shalat pada malam Lailatul Qadar didasari iman dan berharap pahala dari Allah, diampuni dosanya yang telah lalu." (Muttafaq 'Alaih).
Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam-Nya untuk Nabi kita Muhammad berserta keluarga dan para sahabatnya… Amiin.
* Ditulis oleh Syaikh Yahya az-Zahrani dan diterjemahkan oleh Purnomo WD.
Sumber :
http://www.voa-islam.com/ramadhan/serba-serbi/2009/09/13/1027/lailatul-qadar-dan-tanda-tandanya/
13 September 2009
Shalawat dan salam bagi manusia yang menyingsingkan lengan bajunya dan mengencangkan ikat pinggangnya pada malam-malam yang agung dan penuh berkah, Nabi kita Muhammad, beserta keluarganya, dan para sahabatnya yang mulia.
Allah telah mengistimewakan umat Nabi Muhammad ini atas umat-umat lain dengan beberapa keistimewaan. Dan Dia telah memuliakan mereka atas selainnya dengan mengutus seorang rasul bagi mereka dan menurunkan kitab penjelas, yaitu Kitabullah al-'Adzim (al-Qur'an), pada malam mubarakah (diberkahi) yang lebih baik daripada malam-malam selainnya. Malam yang diistimewakan oleh Allah. Malam untuk ibadah. Ibadah di dalamnya lebih baik daripada ibadah selama seribu bulan. Yaitu selama 83 tahun 4 bulan. Malam itu adalah Lailatul Qadar. Allah telah menerangkannya kepada kita dalam dua surat:
Firman Allah dalam surat Al-Qadar :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5)
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar."
Allah berfirman yang lain dalam surat ad-Dukhan:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
"Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah."
Sebab dinamakan Lailatul Qadar
Diterangkan oleh Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah tentang sebab dinamakannya malam Lailatul Qadar :
Pertama, dinamakan Lailatul Qadar dari kata al-Qadar, maknanya kemuliaan. Sebagaimana seseorang disebut dzu qadarin 'adziim, maknanya memiliki kemuliaan.
Kedua, ditetapkan pada malam itu urusan selama satu tahun, kemudian dicatat apa saja yang akan terjadi selama satu tahun itu pada malam tersebut. Ini termasuk kebijaksaan Allah 'Azza wa Jalla.
Ketiga, disebut malam itu dengan Lailatul Qadar karena ibadah di dalamnya memiliki kedudukan yang agung, berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Barang siapa yang bangun (shalat) pada malam Lailatul Qadar didasari iman dan berharap pahala dari Allah semata, maka diampuni dosanya yang telah lalu." (Muttafaq 'Alaih).
Tanda-tanda Lailatul Qadar
Disebutkan juga oleh Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah bahwa Lailatul Qadar memiliki beberapa tanda-tanda yang mengiringinya dan tanda-tanda yang datang kemudian.
Tanda-tanda yang megiringi Lailatul Qadar
1. Kuatnya cahaya dan sinar pada malam itu, tanda ini ketika hadir tidak dirasakan kecuali oleh orang yang berada di daratan dan jauh dari cahaya.
2. Thama'ninah (tenang), maksudnya ketenangan hati dan lapangnya dada seorang mukmin. Dia mendapatkan ketenanangan dan ketentraman serta lega dada pada malam itu lebih banyak dari yang didapatkannya pada malam-malam selainnya.
3. Angin bertiup tenang, maksudnya tidak bertiup kencang dan gemuruh, bahkan udara pada malam itu terasa sejuk.
4. Terkadang manusia bisa bermimpi melihat Allah pada malam itu sebagaimana yang dialami sebagian sahabat radliyallah 'anhum.
5. Orang yang shalat mendapatkan kenikmatan yang lebih dalam shalatnya dibandingkan malam-malam selainnya.
Tanda-tanda yang mengikutinya
Matahari akan terbit pada pagi harinya tidak membuat silau, sinarnya bersih tidak seperti hari-hari biasa. Hal itu ditunjukkan oleh hadits Ubai bin Ka'b radliyallah 'anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengabarkan kepada kami: "Matahari terbit pada hari itu tidak membuat silau." (HR. Muslim)
Keutamaan Lailatul Qadar
1. Pada malam itulah Allah menurunkan al-Qur'an, Allah Ta'ala berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur'an) pada malam kemuliaan." (QS. Al-Qadar: 1)
2. Malam itu malam yang diberkahi, firman Allah Ta'ala:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ
"Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi." (QS. Ad-Dukhan: 3)
3. Allah menuliskan seluruh ajal dan rizki selama satu tahun pada malam itu, firman Allah Ta'ala:
فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
"Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah." (QS. Ad-Dukhan: 4)
4. Keutamaan ibadah pada malam itu dibandingkan malam-malam yang lain, firman Allah Ta'ala:
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
"Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan." (QS. Al-Qadar: 3)
5. Banyak Malaikat turun ke bumi pada malam itu dengan membawa kebaikan, keberkahan, rahmat, dan maghfirah (ampunan), firman Allah Ta'ala:
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ
"Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan." (QS. Al-Qadar: 4)
6. Lailatul Qadar adalah malam yang terbebas dari keburukan dan kerusakan. Pada malam itu pula banyak dilaksanakan ketaatan dan perbuatan baik. Pada malam itu penuh dengan keselamatan dari adzab. Sedangkan syetan tidak bisa menggoda sebagaimana keberhasilannya pada selain malam itu, maka malam itu seluruhnya berisi keselamatan dan kesejahteraan. Firman Allah Ta'ala:
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
"Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (QS. Al-Qadar: 5)
7. Di dalamnya penuh dengan ampunan terhadap dosa bagi orang yang bangun shalat dan berharap pahala dari sisi Allah ’Azza wa Jalla, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "siapa yang berdiri shalat pada malam Lailatul Qadar didasari iman dan berharap pahala dari Allah, diampuni dosanya yang telah lalu." (Muttafaq 'Alaih).
Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam-Nya untuk Nabi kita Muhammad berserta keluarga dan para sahabatnya… Amiin.
* Ditulis oleh Syaikh Yahya az-Zahrani dan diterjemahkan oleh Purnomo WD.
Sumber :
http://www.voa-islam.com/ramadhan/serba-serbi/2009/09/13/1027/lailatul-qadar-dan-tanda-tandanya/
13 September 2009
Tafsir Lailatul Qadar
Secara bahasa lailatul Qadar berarti malam penentuan, lail artinya malam, dan
qadar artinya ketentuan atau ukuran.
Makna lailatul Qadar:
Dalam al-Qur’an bulan Ramadlan disebutkan sebagai bulan turunnya al-
Qur’an (QS 2:185) dan penurunannya dipertegas dengan QS 44:1-3, yang menyatkan
bahwa al-Qur’an diturunkan pada hari penuh kemuliaan, dan QS 97:1-2, yang
menjelaskan bahwa al-Qur’an diturunkan pada malam qadar, dikenal dengan sebutan
lailatul qadar.
Para mufasir berpendapat bahwa proses penurunan al-Qur’an dilakukan dua
kali; dari lauhul mahfud ke langit dunia secara langung dalam satu malam, dari langit
dunia ke bumi (hati Rasul SAW) secara bertahap selama 23 tahun; diturunkan
sesuai kondisi kejiwaan dan kondisi historis yang menyertai kehidupan Rasul SAW
dan para pengikutnya dibawa oleh Jibril as ke hati Rasul SAW.
Pada kesempatan ini penulis akan mencoba melihat lailatul qadar dari sisi
bahasa seperti di atas, bahwa lailatul qadar berarti malam ketentuan atau keputusan
Allah SWT tentang hukum-hukum dan kaidah-kaidah yang berlaku di jagad ciptaan-
Nya ini.
Pemaknaannya sederhana saja, ketika al-Qur’an diturunkan dari lauhil mahfud
ke langit dunia secara langsung dan keseluruhan dalam satu malam, mengindikasikan
bahwa itu adalah ketentuan Allah yang termaktub di lauhilmahfud yang diturunkan ke
dunia, artinya pengetahuan Allah yang berisikan penjabaran hak dan kewajiban,
kaidah-kaidah alam, hukum sebab akibat dan lainnya yang dibagi kepada manusia
terutama manusia akhir zaman. Qadla dan kadar serta ukuran-ukuran tingkahlaku
dengan segala akibat yang bakal ditimbulkan dari tingkah laku tersebut.
Jadi lailatul qadar dengan demikian berarti malam saat ditentukannya batasanbatasan
dan kaidah-kaidah yang beralku bagi mahluk Allah tak terkecuali maunisa;
seperti pelit akan melahirkan kesusahan, taqwa akan melahirkan kebahagiaan dan
jalan keluar dari suatu masalah, tawakal adan suatu sikap tak terelakkan dari manusia, kebenaran akan selalu menang melawan kejahatan, sikap keras membuat dijauhi,
permusuhan adalah tindakan anti kedamaian, mendamaikan manusia yang bertikai
adalah tindakan terpuji dan kebutuhan dari suatu kehidupan. Nilai-nilai universal
tersebut diakui dan diterima oleh akal setiap insan baik muslim maupun non muslim.
Ia merupakan ajaran yang tidak saja berlaku secara turun-temurun tapi juga tertera
dalam kitab suci al-Qur’an.
Malam Penuh Berkah:
Al-Qur’an menjelaskan bahwa malam tersebut penuh berkah dan penuh keselamatan serta memiliki nilai lebih baik dari seribu bulan. Derajat tersebut sugguh sangat tinggi nilainya. Sifat malam yang demikian agung itu dapat dipahami karena pada saat itulah ketnuan dari suatu agenda kehidupan diundangkan. Pada saat itu berbagai do’a dan usulan dibarengi dengan semangat dan hasrat yang begitu tinggi dibuktikan dengan rela berpuasa dan mengosongkan “perut” dari berbagai “keserakahan” kaum muslimin mengajukan berbagai permohonan yang disertai pengabdian, ketaatan dan keseriusan, mereka memohon dengan suasana kedekatan kepada Rab al-aalamin untuk mendapatkan ketentuan baik, nasib baik, dan terhindar dari “api neraka”.
Dalam hukum kehidupan manusia sebuah permohonan akan bisa dikabulkan jika dilakukan dengan “sungguh”, “bersih”, “setia” dan “kedekatan”. Maka pada saat penentuan keputusan ini dianjurkan kepada semua kaum muslimin untuk senaniasa
berdekat, berserah, berharap dan memohon dengan jalan menunjukkan kesetiaan
(puasa) dan kedekatan; memperbanyak dzikir dan mendekatkan diri kepada Allah.
Proses puasa Ramadlan dan amalannya itu merupakan tahapan pengajuan
usulan dan permohonan untuk dapat diputuskan baik dalam maam lailatul qadar.
Sehinga kehidupan ke depan menjadi ‘jaminan’ atas keselamatan, keterhindaran dari
api neraka.
Al-Qur’an Sebagai Ketentuan:
Para nabi as terdahulu mendapatkan petunjuk (kitab suci) berisikan kaidahkaidah
secara langsung (tidak bertahap) dan sangat singkat. Kaidah –kaidahnya relatif
sederhana jika dibanding dengan kaidah al-Qur’an yang demikian komprehensif. Hal
ini karena status penutup kitab suci dan penutup kenabian menuntut al-Qur’an harus
bisa mencakup berbagai permasalahan kehidupan manusia yang semakin hari semakin
bertambah kompleksitasnya, di sisi lain kecerdasan manusia dengan pengalaman dan
pengetahuannya juga semakin tinggi dan semakin meluas, maka kitab suci yag
diperlukan manusia modern jelas harus selengkap dan seluas al-Qur’an.
Ketika manusia awal cukup mengetahui keterhamparan bumi misalkan, maka kitab suci
membenarkan keterhamparan bumi tersebut, namun ketika kemampuan manusia
sudah bisa melihat bundarnya bumi, dan benda-benda langit lainnya, kitab suci juga
menjelaskan bagaiamana benda-benda / planet ini berterbangan di angkasa luas,
berputar dengan ketentuan yang berlaku bagi semuanya, in dari sudut astronomi.
Dari sudut lain misalkan tentang kehidupan sosial manusia, ketika para sosilog
mencoba menarik-narik kesimpulan hukum yang berlaku dalam masyarakat, individu
maupun kelompok, kehidupan ekonomi, dasar pergerakan manusia serta interaksinya,
nilai-nilai yang dianut oleh kelompok tertentu, nampaknya hukum-hukum yang
difirmankan Allah dalam al-Qur’an telah membedah semuanya, kalau mau dikaji.
Sebagai contoh teori dari surat al-Lail, menjelaskan hukum kemudahan
sebagai berikut:
Memberi + bertaqwa + beriman akan akhirat (percaya akan akibat
suatu perbuatan baik berakibat baik dan begitu sebaliknya) = kemudahan.
Pelit + Merasa Cukup + tidak percaya akan akibat yang baik dari suatu perbuatan baik
(akhirat) = kesulitan.
Secara nalar manusia kalau memberi akan membuat orang susah karena berkurang, namun teori al-Qur’an justru sebaliknya.
Yang menyangkut kejiwaan juga misalkan disarankan untuk mengingat-ingat
apa yang telah didapat (dicapai) untuk supaya bisa terus optimis dan tidak putus asa
diisyaratkan dalam surat al-Dluha, jika ada kesulitan yakinlah bahwa akan dibarengi
dengan kemudahan seperti yang diinyaratkan surat al-Insyirah, dan ayat-ayat lainnya.
Contoh di atas sekedar memberikan gambaran betapa teori al-Qur’an
mencakup ilmu-ilmu tidak saja yang berkenaan dengan prilaku peribadatan tapi juga
prilaku sosial dan psikologis manusia. Bandingkan juga dengan isu “kemiskinan”
yang sering “dijual” dan banyak melahirkan proyek dari yang paling sederhana
sampai pada proyek kudeta. Padahal dalam Islam ada definisi kemiskinan yang tidak
menakutkan dan rawan konflik. Seperti pembahasan tema kemiskinan dalam al-
Qur’an lebih menarah kepada interaksi kaya-miskin; hak si kaya dan hak si miskin,
makna kekayaan sering diisyaratkan sebagai suatu amanah dan kepercayaan
pengelolaan harta Tuhan, dan arti kemiskinan bukan nyanyian sosial yang dilantunkan
terus-menerus. Temanya sanagat sedikit dan berkisar pada tehnik memperlakukan dan
interaksi serta tanggungjawab, targetnya adalah si kaya bisa beribadah dengan
“kaya”nya dan si miskin juga bisa beribadah dengan “miskin’nya.
Ketika lailatul qadar diartikan sebagai malam penentuan Allah untuk
makhluk-Nya, dan yang diturunkan pada malam itu adalah al-Qur’an, ini bisa
dipahami bahwa al-Qur’an itu merupakan ketenuan Allah, dan makna yang bisa
diambil adalah bahwa qadar Allah telah termaktub dalam al-Qur’an yang merupakan
Kalam Allah SWT. Jadi hukum-hukum tertinggi yang bisa dicapai manusia akan dan
sudah tercakup oleh al-Qur’an. Maksudnya sebaik apapun manusia berteori ujungujungnya
akan menemukan kebenaran teori yang dikandung al-Qur’an dan akan
membenarkannya.
Manusia secara tersendiri berteori tentang ekonomi, pranata sosial, serta
politik dan hukum baik perdata maupun pidana, namun berbagai pendekatan
nyatanya gagal diterapkan atau paling tidak kurang memberikan hasil yang maksimal,
selalu melahirkan ketimpamgan baru dan selalu berakibat “keresahan akhir” dari
sebuah tatanan.
Maka yang diperlukan sekarang adalah menggali teori al-Qur’an tersebut dan mencoba melaksanakannya dalam kehidupan kita sebagai pelajaran dari lailatul qadar.
Semoga!
Sumber :
M. Tata Taufik
http://www.tata.al-ikhlash.net/LAILATULQODAR.pdf
qadar artinya ketentuan atau ukuran.
Makna lailatul Qadar:
Dalam al-Qur’an bulan Ramadlan disebutkan sebagai bulan turunnya al-
Qur’an (QS 2:185) dan penurunannya dipertegas dengan QS 44:1-3, yang menyatkan
bahwa al-Qur’an diturunkan pada hari penuh kemuliaan, dan QS 97:1-2, yang
menjelaskan bahwa al-Qur’an diturunkan pada malam qadar, dikenal dengan sebutan
lailatul qadar.
Para mufasir berpendapat bahwa proses penurunan al-Qur’an dilakukan dua
kali; dari lauhul mahfud ke langit dunia secara langung dalam satu malam, dari langit
dunia ke bumi (hati Rasul SAW) secara bertahap selama 23 tahun; diturunkan
sesuai kondisi kejiwaan dan kondisi historis yang menyertai kehidupan Rasul SAW
dan para pengikutnya dibawa oleh Jibril as ke hati Rasul SAW.
Pada kesempatan ini penulis akan mencoba melihat lailatul qadar dari sisi
bahasa seperti di atas, bahwa lailatul qadar berarti malam ketentuan atau keputusan
Allah SWT tentang hukum-hukum dan kaidah-kaidah yang berlaku di jagad ciptaan-
Nya ini.
Pemaknaannya sederhana saja, ketika al-Qur’an diturunkan dari lauhil mahfud
ke langit dunia secara langsung dan keseluruhan dalam satu malam, mengindikasikan
bahwa itu adalah ketentuan Allah yang termaktub di lauhilmahfud yang diturunkan ke
dunia, artinya pengetahuan Allah yang berisikan penjabaran hak dan kewajiban,
kaidah-kaidah alam, hukum sebab akibat dan lainnya yang dibagi kepada manusia
terutama manusia akhir zaman. Qadla dan kadar serta ukuran-ukuran tingkahlaku
dengan segala akibat yang bakal ditimbulkan dari tingkah laku tersebut.
Jadi lailatul qadar dengan demikian berarti malam saat ditentukannya batasanbatasan
dan kaidah-kaidah yang beralku bagi mahluk Allah tak terkecuali maunisa;
seperti pelit akan melahirkan kesusahan, taqwa akan melahirkan kebahagiaan dan
jalan keluar dari suatu masalah, tawakal adan suatu sikap tak terelakkan dari manusia, kebenaran akan selalu menang melawan kejahatan, sikap keras membuat dijauhi,
permusuhan adalah tindakan anti kedamaian, mendamaikan manusia yang bertikai
adalah tindakan terpuji dan kebutuhan dari suatu kehidupan. Nilai-nilai universal
tersebut diakui dan diterima oleh akal setiap insan baik muslim maupun non muslim.
Ia merupakan ajaran yang tidak saja berlaku secara turun-temurun tapi juga tertera
dalam kitab suci al-Qur’an.
Malam Penuh Berkah:
Al-Qur’an menjelaskan bahwa malam tersebut penuh berkah dan penuh keselamatan serta memiliki nilai lebih baik dari seribu bulan. Derajat tersebut sugguh sangat tinggi nilainya. Sifat malam yang demikian agung itu dapat dipahami karena pada saat itulah ketnuan dari suatu agenda kehidupan diundangkan. Pada saat itu berbagai do’a dan usulan dibarengi dengan semangat dan hasrat yang begitu tinggi dibuktikan dengan rela berpuasa dan mengosongkan “perut” dari berbagai “keserakahan” kaum muslimin mengajukan berbagai permohonan yang disertai pengabdian, ketaatan dan keseriusan, mereka memohon dengan suasana kedekatan kepada Rab al-aalamin untuk mendapatkan ketentuan baik, nasib baik, dan terhindar dari “api neraka”.
Dalam hukum kehidupan manusia sebuah permohonan akan bisa dikabulkan jika dilakukan dengan “sungguh”, “bersih”, “setia” dan “kedekatan”. Maka pada saat penentuan keputusan ini dianjurkan kepada semua kaum muslimin untuk senaniasa
berdekat, berserah, berharap dan memohon dengan jalan menunjukkan kesetiaan
(puasa) dan kedekatan; memperbanyak dzikir dan mendekatkan diri kepada Allah.
Proses puasa Ramadlan dan amalannya itu merupakan tahapan pengajuan
usulan dan permohonan untuk dapat diputuskan baik dalam maam lailatul qadar.
Sehinga kehidupan ke depan menjadi ‘jaminan’ atas keselamatan, keterhindaran dari
api neraka.
Al-Qur’an Sebagai Ketentuan:
Para nabi as terdahulu mendapatkan petunjuk (kitab suci) berisikan kaidahkaidah
secara langsung (tidak bertahap) dan sangat singkat. Kaidah –kaidahnya relatif
sederhana jika dibanding dengan kaidah al-Qur’an yang demikian komprehensif. Hal
ini karena status penutup kitab suci dan penutup kenabian menuntut al-Qur’an harus
bisa mencakup berbagai permasalahan kehidupan manusia yang semakin hari semakin
bertambah kompleksitasnya, di sisi lain kecerdasan manusia dengan pengalaman dan
pengetahuannya juga semakin tinggi dan semakin meluas, maka kitab suci yag
diperlukan manusia modern jelas harus selengkap dan seluas al-Qur’an.
Ketika manusia awal cukup mengetahui keterhamparan bumi misalkan, maka kitab suci
membenarkan keterhamparan bumi tersebut, namun ketika kemampuan manusia
sudah bisa melihat bundarnya bumi, dan benda-benda langit lainnya, kitab suci juga
menjelaskan bagaiamana benda-benda / planet ini berterbangan di angkasa luas,
berputar dengan ketentuan yang berlaku bagi semuanya, in dari sudut astronomi.
Dari sudut lain misalkan tentang kehidupan sosial manusia, ketika para sosilog
mencoba menarik-narik kesimpulan hukum yang berlaku dalam masyarakat, individu
maupun kelompok, kehidupan ekonomi, dasar pergerakan manusia serta interaksinya,
nilai-nilai yang dianut oleh kelompok tertentu, nampaknya hukum-hukum yang
difirmankan Allah dalam al-Qur’an telah membedah semuanya, kalau mau dikaji.
Sebagai contoh teori dari surat al-Lail, menjelaskan hukum kemudahan
sebagai berikut:
Memberi + bertaqwa + beriman akan akhirat (percaya akan akibat
suatu perbuatan baik berakibat baik dan begitu sebaliknya) = kemudahan.
Pelit + Merasa Cukup + tidak percaya akan akibat yang baik dari suatu perbuatan baik
(akhirat) = kesulitan.
Secara nalar manusia kalau memberi akan membuat orang susah karena berkurang, namun teori al-Qur’an justru sebaliknya.
Yang menyangkut kejiwaan juga misalkan disarankan untuk mengingat-ingat
apa yang telah didapat (dicapai) untuk supaya bisa terus optimis dan tidak putus asa
diisyaratkan dalam surat al-Dluha, jika ada kesulitan yakinlah bahwa akan dibarengi
dengan kemudahan seperti yang diinyaratkan surat al-Insyirah, dan ayat-ayat lainnya.
Contoh di atas sekedar memberikan gambaran betapa teori al-Qur’an
mencakup ilmu-ilmu tidak saja yang berkenaan dengan prilaku peribadatan tapi juga
prilaku sosial dan psikologis manusia. Bandingkan juga dengan isu “kemiskinan”
yang sering “dijual” dan banyak melahirkan proyek dari yang paling sederhana
sampai pada proyek kudeta. Padahal dalam Islam ada definisi kemiskinan yang tidak
menakutkan dan rawan konflik. Seperti pembahasan tema kemiskinan dalam al-
Qur’an lebih menarah kepada interaksi kaya-miskin; hak si kaya dan hak si miskin,
makna kekayaan sering diisyaratkan sebagai suatu amanah dan kepercayaan
pengelolaan harta Tuhan, dan arti kemiskinan bukan nyanyian sosial yang dilantunkan
terus-menerus. Temanya sanagat sedikit dan berkisar pada tehnik memperlakukan dan
interaksi serta tanggungjawab, targetnya adalah si kaya bisa beribadah dengan
“kaya”nya dan si miskin juga bisa beribadah dengan “miskin’nya.
Ketika lailatul qadar diartikan sebagai malam penentuan Allah untuk
makhluk-Nya, dan yang diturunkan pada malam itu adalah al-Qur’an, ini bisa
dipahami bahwa al-Qur’an itu merupakan ketenuan Allah, dan makna yang bisa
diambil adalah bahwa qadar Allah telah termaktub dalam al-Qur’an yang merupakan
Kalam Allah SWT. Jadi hukum-hukum tertinggi yang bisa dicapai manusia akan dan
sudah tercakup oleh al-Qur’an. Maksudnya sebaik apapun manusia berteori ujungujungnya
akan menemukan kebenaran teori yang dikandung al-Qur’an dan akan
membenarkannya.
Manusia secara tersendiri berteori tentang ekonomi, pranata sosial, serta
politik dan hukum baik perdata maupun pidana, namun berbagai pendekatan
nyatanya gagal diterapkan atau paling tidak kurang memberikan hasil yang maksimal,
selalu melahirkan ketimpamgan baru dan selalu berakibat “keresahan akhir” dari
sebuah tatanan.
Maka yang diperlukan sekarang adalah menggali teori al-Qur’an tersebut dan mencoba melaksanakannya dalam kehidupan kita sebagai pelajaran dari lailatul qadar.
Semoga!
Sumber :
M. Tata Taufik
http://www.tata.al-ikhlash.net/LAILATULQODAR.pdf
Lailatul Qadar, Lebih Baik Dari 1000 Bulan
Keutamaannya sangat besar, karena malam ini menyaksikan turunnya Al-Qur’an Al-Karim, yang membimbing orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan mengangkatnya ke derajat yang mulia dan abadi. Umat Islam yang mengikuti sunnah Rasulnya tidak memasang tanda-tanda tertentu dan tidak pula menancapkan anak-anak panah untuk memperingati malam ini, akan tetapi mereka berloma-lomba untuk bangun di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala dari Allah.
Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Qur’aniyah dan hadits-hadits nabawiyah yang shahih menjelaskan tentang malam tersebut.
Keutamaan Malam Lailatul Qadar
Cukuplah untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadar dengan mengetahui bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan, Allah berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar, tahukah engkau apakah malam Lailatul Qadar itu ? Malam Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan, pada malam itu turunlah melaikat-malaikat dan Jibril dengan izin Allah Tuhan mereka (untuk membawa) segala usrusan, selamatlah malam itu hingga terbit fajar” [Al-Qadar : 1-5]
Dan pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.
“Artinya : Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” [Ad-Dukhan : 3-6]
Waktunya
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa malam tersebut terjadi pada tanggal malam 21,23,25,27,29 dan akhir malam bulan Ramadhan. [1]
Imam Syafi’i berkata : “Menurut pemahamanku. wallahu ‘alam, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab sesuai yang ditanyakan, ketika ditanyakan kepada beliau : “Apakah kami mencarinya di malam ini?”, beliau menjawab : “Carilah di malam tersebut” [Sebagaimana dinukil Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah 6/386]
Pendapat yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadar itu pada malam terakhir bulan Ramadhan berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terkahir bulan Ramadhan dan beliau bersabda.
“Artinya : Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan” [Hadits Riwayat Bukhari 4/225 dan Muslim 1169]
Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, karena riwayat dari Ibnu Umar, (dia berkata) : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari sisanya” [Hadits Riwayat Bukhari 4/221 dan Muslim 1165]
Ini menafsirkan sabdanya.
“Artinya : Aku melihat mimpi kalian telah terjadi, barangsiapa yang mencarinya carilah pada tujuh hari terakhir” [Lihat Maraji' tadi]
Telah diketahui dalam sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para sahabat. Dari Ubadah bin Shamit Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke luar pada malam Lailatul Qadar, ada dua orang sahabat berdebat, beliau bersabda.
“Artinya : Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang malam Lailatul Qadar, tapi ada dua orang berdebat hingga tidak bisa lagi diketahui kapannya; mungkin ini lebih baik bagi kalian, carilah di malam 29. 27. 25 (dan dalam riwayat lain : tujuh, sembilan dan lima)” [Hadits Riwayat Bukhari 4/232]
Telah banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa malam Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir, yang lainnya menegaskan, di malam ganjil sepuluh hari terakhir. Hadits yang pertama sifatnya umum sedang hadits kedua adalah khusus, maka riwayat yang khusus lebih diutamakan dari pada yang umum, dan telah banyak hadits yang lebih menerangkan bahwa malam Lailatul Qadar itu ada pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan, tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah, tidak ada masalah, dengan ini cocoklah hadits-hadits tersebut tidak saling bertentangan, bahkan bersatu tidak terpisah.
Kesimpulannya.
Jika seorang muslim mencari malam lailatul Qadar carilah pada malam ganjil sepuluh hari terakhir : 21, 23,25,27 dan 29. Kalau lemah dan tidak mampu mencari pada sepuluh hari terakhir, maka carilah pada malam ganjil tujuh hari terakhir yaitu 25,27 dan 29. Wallahu ‘alam
Bagaimana Mencari Malam Lailatul Qadar?
Sesungguhnya malam yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Dan tidaklah diharamkan kebaikan itu, melainkan (bagi) orang yang diharamkan (untuk mendapatkannya). Oleh karena itu dianjurkan bagi muslimin (agar) bersemangat dalam berbuat ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala-Nya yang besar, jika (telah) berbuat demikian (maka) akan diampuni Allah dosa-dosanya yang telah lalu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Barang siapa berdiri (shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” [Hadits Riwayat Bukhari 4/217 dan Muslim 759]
Disunnahkan untuk memperbanyak do’a pada malam tersebut. Telah diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha, (dia) berkata : “Aku bertanya, “Ya Rasulullah ! Apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan ?” Beliau menjawab, “Ucapkanlah :
“Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul afwa fa’fu’annii”
“Ya Allah Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku” [2]
Saudaraku -semoga Allah memberkahimu dan memberi taufiq kepadamu untuk mentaati-Nya- engkau telah mengetahui bagaimana keadaan malam Lailatul Qadar (dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan shalat) pada sepuluh malam terakhir, menghidupkannya dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada isterimu dan keluargamu untuk itu, perbanyaklah perbuatan ketaatan.
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha.
“Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencanngkan kainnya[3] menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya” [Hadits Riwayat Bukhari 4/233 dan Muslim 1174]
Juga dari Aisyah, (dia berkata) :
“Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh (beribadah apabila telah masuk) malam kesepuluh (terakhir) yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya” [Hadits Riwayat Muslim 1174]
Tanda-Tandanya
Ketahuilah hamba yang taat -mudah-mudahan Allah menguatkanmu degan ruh dari-Nya dan membantu dengan pertolongan-Nya- sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan paginya malam Lailatul Qadar agar seorang muslim mengetahuinya.
Dari ‘Ubay Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tidak menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi” [Hadits Riwayat Muslim 762]
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Kami menyebutkan malam Lailatul Qadar di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda.
“Artinya : Siapa di antara kalian yang ingat ketika terbit bulan seperti syiqi jafnah” [4]
Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : (Malam) Lailatul Qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan” [Tahayalisi 349, Ibnu Khuzaimah 3/231, Bazzar 1/486, sanadnya Hasan]
[Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata]
_________
Foote Note.
[1]. Pendapat-pendapat yang ada dalam masalah ini berbeda-neda, Imam Al-Iraqi telah mengarang satu risalah khusus diberi judul Syarh Shadr Bidzikri Lailatul Qadar, membawakan perkataan para ulama dalam masalah ini, lihatlah…
[2]. Hadits Riwayat Tirmidzi 3760, Ibnu Majah 3850 dari Aisyah, sanadnya Shahih. Lihat syarahnya Bughyatul Insan fi Wadhaifi Ramadhan hal. 55-57 karya Ibnu Rajab Al-Hambali.
[3]. Menjauhi wanita (yaitu istri-istrinya) karena ibadah, menyingisngkan badan untuk mencarinya
[4]. Muslim 1170. Perkataan : “Syiqi jafnah” syiq artinya setengah, jafnah artinya bejana. Al-Qadhi ‘Iyadh berkata : “Dalam hadits ini ada isyarat bahwa malam Lailatul Qadar hanya terjadi di akhir bulan, karena bulan tidak akan seperti demikian ketika terbit kecuali di akhir-akhir bulan”.
Sumber :
http://mii.fmipa.ugm.ac.id/?p=302
17 September 2008
Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Qur’aniyah dan hadits-hadits nabawiyah yang shahih menjelaskan tentang malam tersebut.
Keutamaan Malam Lailatul Qadar
Cukuplah untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadar dengan mengetahui bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan, Allah berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar, tahukah engkau apakah malam Lailatul Qadar itu ? Malam Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan, pada malam itu turunlah melaikat-malaikat dan Jibril dengan izin Allah Tuhan mereka (untuk membawa) segala usrusan, selamatlah malam itu hingga terbit fajar” [Al-Qadar : 1-5]
Dan pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.
“Artinya : Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” [Ad-Dukhan : 3-6]
Waktunya
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa malam tersebut terjadi pada tanggal malam 21,23,25,27,29 dan akhir malam bulan Ramadhan. [1]
Imam Syafi’i berkata : “Menurut pemahamanku. wallahu ‘alam, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab sesuai yang ditanyakan, ketika ditanyakan kepada beliau : “Apakah kami mencarinya di malam ini?”, beliau menjawab : “Carilah di malam tersebut” [Sebagaimana dinukil Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah 6/386]
Pendapat yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadar itu pada malam terakhir bulan Ramadhan berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terkahir bulan Ramadhan dan beliau bersabda.
“Artinya : Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan” [Hadits Riwayat Bukhari 4/225 dan Muslim 1169]
Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, karena riwayat dari Ibnu Umar, (dia berkata) : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari sisanya” [Hadits Riwayat Bukhari 4/221 dan Muslim 1165]
Ini menafsirkan sabdanya.
“Artinya : Aku melihat mimpi kalian telah terjadi, barangsiapa yang mencarinya carilah pada tujuh hari terakhir” [Lihat Maraji' tadi]
Telah diketahui dalam sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para sahabat. Dari Ubadah bin Shamit Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke luar pada malam Lailatul Qadar, ada dua orang sahabat berdebat, beliau bersabda.
“Artinya : Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang malam Lailatul Qadar, tapi ada dua orang berdebat hingga tidak bisa lagi diketahui kapannya; mungkin ini lebih baik bagi kalian, carilah di malam 29. 27. 25 (dan dalam riwayat lain : tujuh, sembilan dan lima)” [Hadits Riwayat Bukhari 4/232]
Telah banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa malam Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir, yang lainnya menegaskan, di malam ganjil sepuluh hari terakhir. Hadits yang pertama sifatnya umum sedang hadits kedua adalah khusus, maka riwayat yang khusus lebih diutamakan dari pada yang umum, dan telah banyak hadits yang lebih menerangkan bahwa malam Lailatul Qadar itu ada pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan, tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah, tidak ada masalah, dengan ini cocoklah hadits-hadits tersebut tidak saling bertentangan, bahkan bersatu tidak terpisah.
Kesimpulannya.
Jika seorang muslim mencari malam lailatul Qadar carilah pada malam ganjil sepuluh hari terakhir : 21, 23,25,27 dan 29. Kalau lemah dan tidak mampu mencari pada sepuluh hari terakhir, maka carilah pada malam ganjil tujuh hari terakhir yaitu 25,27 dan 29. Wallahu ‘alam
Bagaimana Mencari Malam Lailatul Qadar?
Sesungguhnya malam yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Dan tidaklah diharamkan kebaikan itu, melainkan (bagi) orang yang diharamkan (untuk mendapatkannya). Oleh karena itu dianjurkan bagi muslimin (agar) bersemangat dalam berbuat ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala-Nya yang besar, jika (telah) berbuat demikian (maka) akan diampuni Allah dosa-dosanya yang telah lalu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Barang siapa berdiri (shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” [Hadits Riwayat Bukhari 4/217 dan Muslim 759]
Disunnahkan untuk memperbanyak do’a pada malam tersebut. Telah diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha, (dia) berkata : “Aku bertanya, “Ya Rasulullah ! Apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan ?” Beliau menjawab, “Ucapkanlah :
“Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul afwa fa’fu’annii”
“Ya Allah Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku” [2]
Saudaraku -semoga Allah memberkahimu dan memberi taufiq kepadamu untuk mentaati-Nya- engkau telah mengetahui bagaimana keadaan malam Lailatul Qadar (dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan shalat) pada sepuluh malam terakhir, menghidupkannya dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada isterimu dan keluargamu untuk itu, perbanyaklah perbuatan ketaatan.
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha.
“Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencanngkan kainnya[3] menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya” [Hadits Riwayat Bukhari 4/233 dan Muslim 1174]
Juga dari Aisyah, (dia berkata) :
“Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh (beribadah apabila telah masuk) malam kesepuluh (terakhir) yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya” [Hadits Riwayat Muslim 1174]
Tanda-Tandanya
Ketahuilah hamba yang taat -mudah-mudahan Allah menguatkanmu degan ruh dari-Nya dan membantu dengan pertolongan-Nya- sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan paginya malam Lailatul Qadar agar seorang muslim mengetahuinya.
Dari ‘Ubay Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tidak menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi” [Hadits Riwayat Muslim 762]
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Kami menyebutkan malam Lailatul Qadar di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda.
“Artinya : Siapa di antara kalian yang ingat ketika terbit bulan seperti syiqi jafnah” [4]
Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : (Malam) Lailatul Qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan” [Tahayalisi 349, Ibnu Khuzaimah 3/231, Bazzar 1/486, sanadnya Hasan]
[Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata]
_________
Foote Note.
[1]. Pendapat-pendapat yang ada dalam masalah ini berbeda-neda, Imam Al-Iraqi telah mengarang satu risalah khusus diberi judul Syarh Shadr Bidzikri Lailatul Qadar, membawakan perkataan para ulama dalam masalah ini, lihatlah…
[2]. Hadits Riwayat Tirmidzi 3760, Ibnu Majah 3850 dari Aisyah, sanadnya Shahih. Lihat syarahnya Bughyatul Insan fi Wadhaifi Ramadhan hal. 55-57 karya Ibnu Rajab Al-Hambali.
[3]. Menjauhi wanita (yaitu istri-istrinya) karena ibadah, menyingisngkan badan untuk mencarinya
[4]. Muslim 1170. Perkataan : “Syiqi jafnah” syiq artinya setengah, jafnah artinya bejana. Al-Qadhi ‘Iyadh berkata : “Dalam hadits ini ada isyarat bahwa malam Lailatul Qadar hanya terjadi di akhir bulan, karena bulan tidak akan seperti demikian ketika terbit kecuali di akhir-akhir bulan”.
Sumber :
http://mii.fmipa.ugm.ac.id/?p=302
17 September 2008
Meraih Lailatul Qadar (Tafsir QS al-Qadr [97]: 1-5)
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ، وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ، لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، تَنَزَّلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ، سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran pada malam kemuliaan. Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar (QS al-Qadr [97]: 1-5).
Dalam mushaf, surat ini terletak pada urutan ke-97. Terdapat perbedaan pendapat mengenai status surat yang terdiri dari 5 ayat ini. Ada yang menyebutnya sebagai surat Makkiyyah, seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu Marduyah, Ibnu al-Zubair dan ‘Aisyah.1 Ada juga menggolongkannya sebagai Madaniyyah. Di antaranya adalah al-Waqidi. Bahkan menurut ats-Tsa’labi, sebagian besar mufassir memasukkannya sebagai surat Madaniyyah. 2
Tafsir Ayat
Allah SWT. berfirman: Innâ anzalnâhu fî laylah al-qadr (Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran pada malam kemuliaan). Dalam ayat ini digunakan frasa Innâ (Sesungguhnya Kami), bukan Innî (Sesungguhnya Aku). Dijelaskan Fakhruddin ar-Razi, kata tersebut tidak boleh dimaknai li al-jam’i (untuk menunjukkan makna jamak). Sebab, hal itu mustahil ditujukan kepada Allah, Zat Yang Maha Esa. Karena itu, kata tersebut harus dimaknai sebagai li at-ta’zhîm (untuk mengagungkan).3
Huruf al-hâ’ (dhamîr al-ghâib, kata ganti pihak ketiga) dalam ayat ini, tidak memiliki al-ism azh-zháhir yang menjadi rujukannya. Meskipun demikian, para mufassir sepakat bahwa dhamîr tersebut menunjuk pada al-Quran.4 Menurut al-Qurthubi, tidak disebutkan kata al-Quran karena maknanya sudah maklum.5Fakhruddin ar-Razi dan az-Zamakhsyari menjelaskan, ketiadaan al-ism azh-zhâhir itu menjadi salah satu aspek yang menunjukkan keagungan al-Quran.6 Adapun al-Khaththabi dan Abu Hayyan al-Andalusi mengaitkannya dengan surat sebelumnya: iqra’ bi[i]smi Rabbika; sehingga seolah dikatakan: Bacalah apa yang Kami turunkan kepadamu berupa firman Kami, “Innâ anzalnâhu laylah al-qadr.”7
Dalam ayat ini diberitakan bahwa al-Quran diturunkan pada malam al-qadr. Secara fakta, al-Quran turun kepada Rasulullah saw. secara bertahap selama dua puluh tiga tahun; siang dan malam, dalam berbagai bulan dan keadaan. Jika demikian, apa makna al-Quran diturunkan pada suatu malam yang disebut sebagai malam al-qadr itu?
Setidaknya ada dua penjelasan. Pertama: turunnya al-Quran yang diberitakan dalam ayat ini adalah turunnya al-Quran secara sekaligus dari al-Lawh al-Mahfûzh ke Bayt al-‘Izzah di langit dunia. Selanjutnya, al-Quran turun kepada Rasulullah saw. selama 23 tahun secara bertahap setiap saat. Penjelasan ini disampaikan Ibnu ‘Abbas; juga dipilih oleh beberapa mufassir seperti al-Alusi, al-Baghawi, asy-Syaukani, as-Samarqandi, dan yang lainnya.8
Kedua: turunnya al-Quran pertama kali. Ini merupakan pendapat asy-Sya’bi dan yang lainnya.9 Intinya, awal diturunkannya al-Quran dan diutusnya Rasulullah. saw terjadi pada malam al-qadr itu. Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 185).
Mengapa malam itu disebut sebagai malam al-qadr? Menurut Ibnu ‘Abbas, Qatadah dan lain-lain, dinamakan al-qadr karena di dalamnya terjadi penentuan ajal, rezeki dan berbagai kejadian di dunia yang diberikan kepada malaikat untuk dikerjakan. Pendapat ini juga dipilih az-Zamakhsyari, asy-Syaukani dan al-Baghawi karena dinilai sejalan dengan QS ad-Dukhan [44]: 4.10 Adapun az-Zuhri memaknai laylah al-qadr sebagai malam al-‘azhamah wa asy-syaraf (keagungan dan kemuliaan).11 Pengertian ini juga sejalan dengan ayat berikutnya yang menjelaskan bahwa malam tersebut lebih baik dari seribu bulan. Ada juga yang memilih kedua pendapat itu tanpa menafikan salah satunya, seperti al-Baidhawi, as-Samarqandi, as-Sa’di dan al-Zuhaili.12 Jika diikuti penjelasan ayat-ayat sesudahnya, kedua pendapat itu sama-sama memiliki pijakan yang kuat. Tidak harus dipilih salah satunya dan menegasikan makna lainnya.
Kemudian Allah SWT berfirman: Wamâ adrâka mâ laylah al-qadr (Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?). Kalimat istifhâm ini memberikan makna tafkhîm sya’nihâ (memuliakan urusannya); seolah-olah perkara tersebut keluar dari pengetahuan makhluk; dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah SWT. Demikian penjelasan asy-Syaukani.13Tidak jauh berbeda, as-Samarqandi juga menafsirkannya sebagai ta’zhîm[an] lahâ (mengagungkan, memuliakannya).14
Pertanyaan itu lalu dijelaskan dalam ayat berikutnya: Laylah al-qadr khayr min alfi syahr[in] (Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan). Menurut Abu Hayyan, seribu bulan yang dimaksud adalah jumlah sebenarnya, yakni 83 tahun. Al-Hasan mengatakan, “Beramal pada malam al-qadr itu lebih utama daripada beramal pada bulan-bulan itu.”15 Menurut Anas, amal, sedekah, shalat dan zakat pada Lailatul Qadar lebih baik daripada seribu bulan.16 Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Mujahid, Amru bin Qays al-Malai, Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan as-Samarqandi.17 Bahkan menurut as-Syaukani, kesimpulan tersebut (beramal di malam itu lebih baik daripada seribu bulan, selain yang di dalamnya terdapat malam al-qadr) merupakan pendapat sebagian besar mufassirin.18 Mengenai keutamaan beramal pada malam tersebut juga ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa melaksanakan shalat pada Lailatul Qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni (HR al-Bukhir, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ahmad).
Kemudian Allah SWT menjelaskan keutamaan lain Malam al-Qadr dengan firman-Nya: Tanazzalu al-malâikah wa al-Rûh fîhâ bi idzni Rabbihim min kulli amr[in] (Pada malam itu turun para malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan). Pada malam itu, para malaikat turun dari langit ke bumi, termasuk ar-Rûh. Menurut jumhûr al-mufassirîn, yang dimaksud ar-Rûh di sini adalah Jibril.19 Penyebutan Jibril sesudah malaikat merupakan athf al-khâsh ‘alâ al-‘âmm (menambahkan yang khusus atas yang umum).20 Biasanya, itu berguna untuk menunjukkan kemuliaan dan keagungannya atas yang lain (Lihat, misalnya, QS al-Baqarah [2]: 98).
Menurut Ibnu Katsir, banyaknya malaikat yang turun karena banyaknya berkah. Malaikat turun dengan membawa berkah dan rahmat sebagaimana mereka turun ketika ada tilawah al-Quran; mereka mencari majelis zikir dan meletakkan sayapnya mengitari orang-orang yang mencari ilmu untuk memuliakannya.21
Dipaparkan ar-Razi, penyebutan bi idzni Rabbihim memberikan isyarat bahwa para malaikat itu tidak bertindak apa pun selain dengan izin-Nya. Adapun kata Rabbihim berguna sebagai ta’zhîm[an] li al-malâikah wa tahqîr[an] li al-‘ashâh (untuk memuliakan malaikat dan melecehkan pelaku maksiat).22 Menurut Qatadah dan lainnya, frasa bi idzni Rabbihim min kulli amr[in] (dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan), memberikan pengertian bahwa pada malam itu diputuskan berbagai urusan; ditetapkan ajal dan rezeki. Ini sejalan dengan QS al-Dukhan (44) ayat 4.23
Allah SWT pun menutup ayat ini dengan firman-Nya: Salâm[un] hiya hattâ mathla’ al-fajr (Malam itu [penuh] kesejahteraan sampai terbit fajar). Dijelaskan Mujahid, bahwa keselamatan itu berarti sâlimah (selamat); setan tidak mampu berbuat kejahatan atau melakukan perbuatan yang mencelakakan.24 Qatadah menyatakan bahwa frasa tersebut berarti kebaikan semua, tidak ada di dalamnya keburukan hingga terbit fajar.25 Menurut asy-Sya’bi, saat memberikan keselamatan kepada penghuni masjid mulai dari terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar, malaikat melewati setiap Mukmin dan berkata, “As-Salâmu ‘alayka ayyuhâ al-Mu’min” (Semoga keselamatan atas kalian, wahai Mukmin).26
Keagungan al-Quran dan Lailatul Qadar
Surat ini memberitakan peristiwa turunnya al-Quran, kitab yang diturunkan kepada nabi terakhir; berisi penjelasan segala sesuatu, petunjuk serta rahmat, dan kabar gembira bagi Muslim (lihat QS al-Nahl [16]: 89). Dalam surat ini, pengagungan al-Quran tampak pada beberapa hal. Pertama: keagungan dan kemasyhuran al-Quran. Kendati tidak disebutkan secara zhâhir, tidak ada perbedaan bahwa dhamîr al-ghâib ini merujuk pada al-Quran. Sebagaimana telah dipaparkan, itu menunjukkan keagungan dan kemasyhuran al-Quran. Karena itu, meski tanpa disebutkan secara zhâhir, maknanya sudah sangat jelas.
Kedua: keagungan Zat yang menurunkannya. Disebutkan dalam surat ini bahwa yang menurunkan al-Quran adalah Allah SWT. Sebagai kitab yang berasal dari Zat Yang Mahabenar dan Mahaadil, kitab yang diturunkan-Nya pun demikian, shidqa[an] wa ad-la[a] (benar dan adil, lihat QS al-An’am [6]: 115). Digunakannya frasa innâ yang menunjuk kepada Allah kian menambah kemuliaan al-Quran. Sebab, frasa innâ memberikan makna li al-ta’zhîm (untuk memuliakan, mengagungkan) terhadap Zat yang menurunkan-Nya.
Ketiga: keistimewaan waktu turunnya. Diberitakan dalam ayat ini bahwa turunnya al-Quran dipilih pada waktu yang amat mulia, yakni pada laylah al-qadr, sebuah malam yang penuh berkah (lihat QS al-Dukhan [44]: 3), yang lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu, para malaikat, termasuk Jibril, turun ke bumi. Ini menunjukkan betapa mulia dan pentingnya malam tersebut. Sebab, para malaikat itu tidak turun kecuali ada perkara yang besar. Rasulullah saw bersabda tentang laylah al-qadr:
إِنَّهَا لَيْلَةُ سَابِعَةٍ أَوْ تَاسِعَةٍ وَعِشْرِينَ إنَّ الْمَلاَئِكَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فِى الأَرْضِ أَكْثَرُ مِن عَدَدِ الْحَصَى
Sesungguhnya laylah al-qadr itu adalah malam kedua puluh tujuh atau kedua puluh sembilan. Sesungguhnya para malaikat pada malam itu di bumi lebih banyak daripada jumlah kerikil (HR Ahmad dari Abu Hurairah).
Ditegaskan pula, pada malam itu penuh kesejahteraan hingga terbit fajar. Berita tersebut seharusnya membuat manusia kian memuliakan dan mengagungkan kitab Allah SWT itu; juga benar-benar berupaya mencari dan mengisi Lailatul Qadar dengan amal shalih. Rasulullah saw. bersabda:
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Carilah Lailatul Qadar itu pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan (HR al-Bukhari).
Pada hari-hari itu, Rasulullah saw. juga senantiasa bersungguh-sungguh dalam ibadah, melebihi dua puluh malam pertama. Aisyah ra. berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.
Rasulullah saw. bersungguh-sungguh dalam beribadah pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, hal yang tidak beliau lakukan pada malam yang lainnya (HR Muslim, at-Tirmidzi dan Ahmad).
Pada malam itu, disunnahkan bagi seorang Muslim untuk memperbanyak membaca al-Quran dan membaca doa. Sebab, doa pada waktu-waktu tersebut mustajab. Doa yang terus dibaca adalah doa yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. yang berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika saya mendapatkan Lailatul Qadar, apa yang aku katakan?” Beliau bersabda:
تَقُولِينَ : اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ ، فَاعْفُ عَنِّي
Kamu berkata, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampum, mencintai ampunan. Karena itu, ampunilah aku.” (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Mengingat besarnya keutamaan Lailatul Qadar, sudah sepatutnya kaum Muslim berusaha keras untuk mengisi malam-malam akhir pada bulan Ramadhan dengan berbagai ibadah dan amal shalih, termasuk berdakwah dan berjuang demi tegaknya hukum dalam Kitab dan as-Sunnah. Harus diingat, kesempatan itu tidak selalu ada. Jika kini kita masih berjumpa dengan Ramadhan, belum tentu tahun depan. Betapa beruntung kita jika mendapatkan sebuah malam yang lebih mulia dari seribu bulan atau delapan puluh tiga tahun lebih. Karunia apa lagi yang lebih besar dari itu?
Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. []
Catatan kaki:
1 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, XV/533 (Kairo: Maktabah Hijr, 2003). Namun, menurut Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, V/504 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), Ibnu ‘Abbas memasukkannya ke dalam Madaniyyah.
2 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, XX/129 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964); Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993); asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633 (tt: Dar al-Wafa’, tt).
3 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, XXXII/27 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981).
4 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, XXXII/27; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, XX/129; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492; Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, V/504; al-Baidhawi, Anwár at-Tanzîl wa Asrár at-Ta’wîl, V/327 (Beirut: Dar Ihyâ’ at-Turats, tt); Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/441 (Riyad: Dar Thayyibah, 1999); al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, V/383 (Beirut: Dar Ihya’ Ihya’ Turats al-‘Arabi, 1990); asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633.
5 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, XX/129.
6 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/407 (Riyad: Maktabah Abikan, 1998).
7 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XV/411 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995).
8 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XV/412; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492; Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, V/504; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, V/383; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, III/496 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993).
9 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, XX/129; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/407
10 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/407; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, V/383; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633.
11 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XV/415; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492.
12 Al-Baidhawi, Anwár at-Tanzîl wa Asrár at-Ta’wîl, V/327; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, III/496; as-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân (tt: Mu’assasah al-Risalah, 2000), 931; az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, XXX/332 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998).
13 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633.
14 As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, III/496.
15 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/493.
16 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, XV/534.
17 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, XXXIV/534 (Madinah: Muassasah al-Risalah, 200); Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, III/496.
18 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633.
19 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XV/417; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/634. Pendapat tersebut juga dipilih ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 34; as-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, XV/538; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/408; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.
20 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/443.
21 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.
22 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, XXXII/35.
23 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.
24 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.
25 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/634; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.
26 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/634; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.
Sumber :
Majalah Al Waie edisi Agustus 2010, dalam:
http://syariahpublications.com/2010/08/24/meraih-lailatul-qadar-tafsir-qs-al-qadr-97-1-5/
24 Aguatus 2010
Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran pada malam kemuliaan. Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar (QS al-Qadr [97]: 1-5).
Dalam mushaf, surat ini terletak pada urutan ke-97. Terdapat perbedaan pendapat mengenai status surat yang terdiri dari 5 ayat ini. Ada yang menyebutnya sebagai surat Makkiyyah, seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu Marduyah, Ibnu al-Zubair dan ‘Aisyah.1 Ada juga menggolongkannya sebagai Madaniyyah. Di antaranya adalah al-Waqidi. Bahkan menurut ats-Tsa’labi, sebagian besar mufassir memasukkannya sebagai surat Madaniyyah. 2
Tafsir Ayat
Allah SWT. berfirman: Innâ anzalnâhu fî laylah al-qadr (Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran pada malam kemuliaan). Dalam ayat ini digunakan frasa Innâ (Sesungguhnya Kami), bukan Innî (Sesungguhnya Aku). Dijelaskan Fakhruddin ar-Razi, kata tersebut tidak boleh dimaknai li al-jam’i (untuk menunjukkan makna jamak). Sebab, hal itu mustahil ditujukan kepada Allah, Zat Yang Maha Esa. Karena itu, kata tersebut harus dimaknai sebagai li at-ta’zhîm (untuk mengagungkan).3
Huruf al-hâ’ (dhamîr al-ghâib, kata ganti pihak ketiga) dalam ayat ini, tidak memiliki al-ism azh-zháhir yang menjadi rujukannya. Meskipun demikian, para mufassir sepakat bahwa dhamîr tersebut menunjuk pada al-Quran.4 Menurut al-Qurthubi, tidak disebutkan kata al-Quran karena maknanya sudah maklum.5Fakhruddin ar-Razi dan az-Zamakhsyari menjelaskan, ketiadaan al-ism azh-zhâhir itu menjadi salah satu aspek yang menunjukkan keagungan al-Quran.6 Adapun al-Khaththabi dan Abu Hayyan al-Andalusi mengaitkannya dengan surat sebelumnya: iqra’ bi[i]smi Rabbika; sehingga seolah dikatakan: Bacalah apa yang Kami turunkan kepadamu berupa firman Kami, “Innâ anzalnâhu laylah al-qadr.”7
Dalam ayat ini diberitakan bahwa al-Quran diturunkan pada malam al-qadr. Secara fakta, al-Quran turun kepada Rasulullah saw. secara bertahap selama dua puluh tiga tahun; siang dan malam, dalam berbagai bulan dan keadaan. Jika demikian, apa makna al-Quran diturunkan pada suatu malam yang disebut sebagai malam al-qadr itu?
Setidaknya ada dua penjelasan. Pertama: turunnya al-Quran yang diberitakan dalam ayat ini adalah turunnya al-Quran secara sekaligus dari al-Lawh al-Mahfûzh ke Bayt al-‘Izzah di langit dunia. Selanjutnya, al-Quran turun kepada Rasulullah saw. selama 23 tahun secara bertahap setiap saat. Penjelasan ini disampaikan Ibnu ‘Abbas; juga dipilih oleh beberapa mufassir seperti al-Alusi, al-Baghawi, asy-Syaukani, as-Samarqandi, dan yang lainnya.8
Kedua: turunnya al-Quran pertama kali. Ini merupakan pendapat asy-Sya’bi dan yang lainnya.9 Intinya, awal diturunkannya al-Quran dan diutusnya Rasulullah. saw terjadi pada malam al-qadr itu. Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 185).
Mengapa malam itu disebut sebagai malam al-qadr? Menurut Ibnu ‘Abbas, Qatadah dan lain-lain, dinamakan al-qadr karena di dalamnya terjadi penentuan ajal, rezeki dan berbagai kejadian di dunia yang diberikan kepada malaikat untuk dikerjakan. Pendapat ini juga dipilih az-Zamakhsyari, asy-Syaukani dan al-Baghawi karena dinilai sejalan dengan QS ad-Dukhan [44]: 4.10 Adapun az-Zuhri memaknai laylah al-qadr sebagai malam al-‘azhamah wa asy-syaraf (keagungan dan kemuliaan).11 Pengertian ini juga sejalan dengan ayat berikutnya yang menjelaskan bahwa malam tersebut lebih baik dari seribu bulan. Ada juga yang memilih kedua pendapat itu tanpa menafikan salah satunya, seperti al-Baidhawi, as-Samarqandi, as-Sa’di dan al-Zuhaili.12 Jika diikuti penjelasan ayat-ayat sesudahnya, kedua pendapat itu sama-sama memiliki pijakan yang kuat. Tidak harus dipilih salah satunya dan menegasikan makna lainnya.
Kemudian Allah SWT berfirman: Wamâ adrâka mâ laylah al-qadr (Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?). Kalimat istifhâm ini memberikan makna tafkhîm sya’nihâ (memuliakan urusannya); seolah-olah perkara tersebut keluar dari pengetahuan makhluk; dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah SWT. Demikian penjelasan asy-Syaukani.13Tidak jauh berbeda, as-Samarqandi juga menafsirkannya sebagai ta’zhîm[an] lahâ (mengagungkan, memuliakannya).14
Pertanyaan itu lalu dijelaskan dalam ayat berikutnya: Laylah al-qadr khayr min alfi syahr[in] (Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan). Menurut Abu Hayyan, seribu bulan yang dimaksud adalah jumlah sebenarnya, yakni 83 tahun. Al-Hasan mengatakan, “Beramal pada malam al-qadr itu lebih utama daripada beramal pada bulan-bulan itu.”15 Menurut Anas, amal, sedekah, shalat dan zakat pada Lailatul Qadar lebih baik daripada seribu bulan.16 Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Mujahid, Amru bin Qays al-Malai, Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan as-Samarqandi.17 Bahkan menurut as-Syaukani, kesimpulan tersebut (beramal di malam itu lebih baik daripada seribu bulan, selain yang di dalamnya terdapat malam al-qadr) merupakan pendapat sebagian besar mufassirin.18 Mengenai keutamaan beramal pada malam tersebut juga ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa melaksanakan shalat pada Lailatul Qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni (HR al-Bukhir, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ahmad).
Kemudian Allah SWT menjelaskan keutamaan lain Malam al-Qadr dengan firman-Nya: Tanazzalu al-malâikah wa al-Rûh fîhâ bi idzni Rabbihim min kulli amr[in] (Pada malam itu turun para malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan). Pada malam itu, para malaikat turun dari langit ke bumi, termasuk ar-Rûh. Menurut jumhûr al-mufassirîn, yang dimaksud ar-Rûh di sini adalah Jibril.19 Penyebutan Jibril sesudah malaikat merupakan athf al-khâsh ‘alâ al-‘âmm (menambahkan yang khusus atas yang umum).20 Biasanya, itu berguna untuk menunjukkan kemuliaan dan keagungannya atas yang lain (Lihat, misalnya, QS al-Baqarah [2]: 98).
Menurut Ibnu Katsir, banyaknya malaikat yang turun karena banyaknya berkah. Malaikat turun dengan membawa berkah dan rahmat sebagaimana mereka turun ketika ada tilawah al-Quran; mereka mencari majelis zikir dan meletakkan sayapnya mengitari orang-orang yang mencari ilmu untuk memuliakannya.21
Dipaparkan ar-Razi, penyebutan bi idzni Rabbihim memberikan isyarat bahwa para malaikat itu tidak bertindak apa pun selain dengan izin-Nya. Adapun kata Rabbihim berguna sebagai ta’zhîm[an] li al-malâikah wa tahqîr[an] li al-‘ashâh (untuk memuliakan malaikat dan melecehkan pelaku maksiat).22 Menurut Qatadah dan lainnya, frasa bi idzni Rabbihim min kulli amr[in] (dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan), memberikan pengertian bahwa pada malam itu diputuskan berbagai urusan; ditetapkan ajal dan rezeki. Ini sejalan dengan QS al-Dukhan (44) ayat 4.23
Allah SWT pun menutup ayat ini dengan firman-Nya: Salâm[un] hiya hattâ mathla’ al-fajr (Malam itu [penuh] kesejahteraan sampai terbit fajar). Dijelaskan Mujahid, bahwa keselamatan itu berarti sâlimah (selamat); setan tidak mampu berbuat kejahatan atau melakukan perbuatan yang mencelakakan.24 Qatadah menyatakan bahwa frasa tersebut berarti kebaikan semua, tidak ada di dalamnya keburukan hingga terbit fajar.25 Menurut asy-Sya’bi, saat memberikan keselamatan kepada penghuni masjid mulai dari terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar, malaikat melewati setiap Mukmin dan berkata, “As-Salâmu ‘alayka ayyuhâ al-Mu’min” (Semoga keselamatan atas kalian, wahai Mukmin).26
Keagungan al-Quran dan Lailatul Qadar
Surat ini memberitakan peristiwa turunnya al-Quran, kitab yang diturunkan kepada nabi terakhir; berisi penjelasan segala sesuatu, petunjuk serta rahmat, dan kabar gembira bagi Muslim (lihat QS al-Nahl [16]: 89). Dalam surat ini, pengagungan al-Quran tampak pada beberapa hal. Pertama: keagungan dan kemasyhuran al-Quran. Kendati tidak disebutkan secara zhâhir, tidak ada perbedaan bahwa dhamîr al-ghâib ini merujuk pada al-Quran. Sebagaimana telah dipaparkan, itu menunjukkan keagungan dan kemasyhuran al-Quran. Karena itu, meski tanpa disebutkan secara zhâhir, maknanya sudah sangat jelas.
Kedua: keagungan Zat yang menurunkannya. Disebutkan dalam surat ini bahwa yang menurunkan al-Quran adalah Allah SWT. Sebagai kitab yang berasal dari Zat Yang Mahabenar dan Mahaadil, kitab yang diturunkan-Nya pun demikian, shidqa[an] wa ad-la[a] (benar dan adil, lihat QS al-An’am [6]: 115). Digunakannya frasa innâ yang menunjuk kepada Allah kian menambah kemuliaan al-Quran. Sebab, frasa innâ memberikan makna li al-ta’zhîm (untuk memuliakan, mengagungkan) terhadap Zat yang menurunkan-Nya.
Ketiga: keistimewaan waktu turunnya. Diberitakan dalam ayat ini bahwa turunnya al-Quran dipilih pada waktu yang amat mulia, yakni pada laylah al-qadr, sebuah malam yang penuh berkah (lihat QS al-Dukhan [44]: 3), yang lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu, para malaikat, termasuk Jibril, turun ke bumi. Ini menunjukkan betapa mulia dan pentingnya malam tersebut. Sebab, para malaikat itu tidak turun kecuali ada perkara yang besar. Rasulullah saw bersabda tentang laylah al-qadr:
إِنَّهَا لَيْلَةُ سَابِعَةٍ أَوْ تَاسِعَةٍ وَعِشْرِينَ إنَّ الْمَلاَئِكَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فِى الأَرْضِ أَكْثَرُ مِن عَدَدِ الْحَصَى
Sesungguhnya laylah al-qadr itu adalah malam kedua puluh tujuh atau kedua puluh sembilan. Sesungguhnya para malaikat pada malam itu di bumi lebih banyak daripada jumlah kerikil (HR Ahmad dari Abu Hurairah).
Ditegaskan pula, pada malam itu penuh kesejahteraan hingga terbit fajar. Berita tersebut seharusnya membuat manusia kian memuliakan dan mengagungkan kitab Allah SWT itu; juga benar-benar berupaya mencari dan mengisi Lailatul Qadar dengan amal shalih. Rasulullah saw. bersabda:
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Carilah Lailatul Qadar itu pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan (HR al-Bukhari).
Pada hari-hari itu, Rasulullah saw. juga senantiasa bersungguh-sungguh dalam ibadah, melebihi dua puluh malam pertama. Aisyah ra. berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.
Rasulullah saw. bersungguh-sungguh dalam beribadah pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, hal yang tidak beliau lakukan pada malam yang lainnya (HR Muslim, at-Tirmidzi dan Ahmad).
Pada malam itu, disunnahkan bagi seorang Muslim untuk memperbanyak membaca al-Quran dan membaca doa. Sebab, doa pada waktu-waktu tersebut mustajab. Doa yang terus dibaca adalah doa yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. yang berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika saya mendapatkan Lailatul Qadar, apa yang aku katakan?” Beliau bersabda:
تَقُولِينَ : اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ ، فَاعْفُ عَنِّي
Kamu berkata, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampum, mencintai ampunan. Karena itu, ampunilah aku.” (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Mengingat besarnya keutamaan Lailatul Qadar, sudah sepatutnya kaum Muslim berusaha keras untuk mengisi malam-malam akhir pada bulan Ramadhan dengan berbagai ibadah dan amal shalih, termasuk berdakwah dan berjuang demi tegaknya hukum dalam Kitab dan as-Sunnah. Harus diingat, kesempatan itu tidak selalu ada. Jika kini kita masih berjumpa dengan Ramadhan, belum tentu tahun depan. Betapa beruntung kita jika mendapatkan sebuah malam yang lebih mulia dari seribu bulan atau delapan puluh tiga tahun lebih. Karunia apa lagi yang lebih besar dari itu?
Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. []
Catatan kaki:
1 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, XV/533 (Kairo: Maktabah Hijr, 2003). Namun, menurut Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, V/504 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), Ibnu ‘Abbas memasukkannya ke dalam Madaniyyah.
2 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, XX/129 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964); Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993); asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633 (tt: Dar al-Wafa’, tt).
3 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, XXXII/27 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981).
4 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, XXXII/27; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, XX/129; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492; Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, V/504; al-Baidhawi, Anwár at-Tanzîl wa Asrár at-Ta’wîl, V/327 (Beirut: Dar Ihyâ’ at-Turats, tt); Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/441 (Riyad: Dar Thayyibah, 1999); al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, V/383 (Beirut: Dar Ihya’ Ihya’ Turats al-‘Arabi, 1990); asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633.
5 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, XX/129.
6 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/407 (Riyad: Maktabah Abikan, 1998).
7 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XV/411 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995).
8 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XV/412; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492; Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, V/504; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, V/383; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, III/496 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993).
9 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, XX/129; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/407
10 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/407; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, V/383; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633.
11 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XV/415; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492.
12 Al-Baidhawi, Anwár at-Tanzîl wa Asrár at-Ta’wîl, V/327; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, III/496; as-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân (tt: Mu’assasah al-Risalah, 2000), 931; az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, XXX/332 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998).
13 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633.
14 As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, III/496.
15 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/493.
16 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, XV/534.
17 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, XXXIV/534 (Madinah: Muassasah al-Risalah, 200); Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, III/496.
18 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633.
19 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XV/417; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/634. Pendapat tersebut juga dipilih ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 34; as-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, XV/538; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/408; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.
20 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/443.
21 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.
22 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, XXXII/35.
23 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.
24 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.
25 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/634; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.
26 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/634; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.
Sumber :
Majalah Al Waie edisi Agustus 2010, dalam:
http://syariahpublications.com/2010/08/24/meraih-lailatul-qadar-tafsir-qs-al-qadr-97-1-5/
24 Aguatus 2010
Langganan:
Postingan (Atom)